MATERI KULIAH FILSAFAT
Filsafat Islam
Pasca-Ibn Rusyd/Filsuf Islam Pasca-Ibn Rusyd/Ibn Taimiyyah
Dari Wikibooks Indonesia, sumber buku teks bebas berbahasa Indonesia
Fenomena Filsafat Dan Mantiq Ibn Taimiyyah Oleh: Ilham
Mustofal Ahyar
فمنه نتعلم وبه نتكلم وفيه ننظر ونفكر وبه نستدل ونحكم
Iftitah
Disamping fitrah untuk beragama yang ditanamkan Tuhan
dalam jiwa manusia semenjak masih berada dalam rahim, manusia juga dibekali
fitrah untuk berfikir yang merupakan sebuah potensi dahsyat dalam diri manusia,
potensi ini bukan hanya membedakan manusia dengan makluk Tuhan yang lainnya,
sebutlah tumbuhan, hewan, benda-benda mati, atau bahkan malaikat dan jin, lebih
dari itu sekaligus mengantarkan manusia pada capaian-capaian kehidupan yang
sangat mengagumkan secara spiritual maupun material, tersirat secara jelas
dalam firman Allah SWT.:
وإذ قال ربك للملائكة إنى جاعل فى اللأرض خليفة قالوا
أتجعل فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك قال إنى أعلم ما
لا تعلمون ( البقرة: 30)
Dalam ayat ini Allah menjawab keraguan malaikat yang
mengkhawatirkan akibat negatif dari penciptaan manusia sebagai penguasa
(khalîfah) di dunia, dengan ucapannya: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui", kata-kata ini mengisyaratkan adanya potensi yang
besar dalam diri manusia yang bahkan tidak diketahui para malaikat, sampai
kemudian Allah SWT.memerintahkan Adam ِِِuntuk membuktikannya:
قال يا أدم أنبئهم بأسمائهم....
Bahwa potensi itu adalah rasionalitas yang berpadu
dengan spiritualitas, rasionisasi yang menggerakkan spiritualitas ini, juga
yang menggerakkan manusia untuk bertanya dan mencari sekian juta hal yang
memenuhi kehidupannya; tentang alam, kehidupan, kematian, pencipta, masa depan
dan sebagainya. Namun tidak berarti fitrah rasionalitas ini berjalan tanpa
problem, dimana pada perjalanannya kita bisa melihat kasus-kasus historis yang
menghadapkan kepada kita betapa kegagalan rasionalitas itu pula yang
menjerumuskan manusia kedalam liang-liang penghancuran dirinya sendiri, kita
bisa ambil contoh dari pengandaian sebagian manusia bahwa kemampuan akal
manusia dapat mengurai dan memecahkan segala sesuatu telah melahirkan kaum
atheis yang mengingkari keberadaan Tuhan.
Sekilas Filsafat Islam
Filsafat Islam muncul sebagai imbas dari gerakan
penerjemahan besar-besaran dari buku-buku peradapan Yunani dan
peradaban-peradaban lainnya pada masa kejayaan Daulah Abbasiah, dimana
pemerintahan yang berkuasa waktu itu memberikan sokongan penuh terhadap gerakan
penerjemahan ini, sehingga para ulama bersemangat untuk melakukan penerjemahan
dari berbagai macam keilmuan yang dimiliki peradaban Yunani kedalam bahasa
Arab, dan prestasi yang paling gemilang dari gerakan ini adalah ketika para
ulama berhasil menerjemahkan ilmu filsafat yang mejadi maskot dari peradaban
Yunani waktu itu, baik filsafat Plato, Aristoteles, maupun yang lainnya.
Sebenarnya gerakan penerjemahan ini dimulai semenjak masa Daulah Umawiyyah atas
perintah dari Khalid bin Yazid Al-Umawî untuk menerjemahkan buku-buku
kedokteran, kimia dan geometria dari Yunani, akan tetapi para Ahli Sejarah
lebih condong bahwa gerakan ini benar-benar dilaksanakan pada masa pemerintahan
Daulah Abbasiah saja, dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Al-Manshur
(136-158 H) hingga masa pamerintahan AL-Ma'mun (198-218 H) , dimana
penerjemahan ini tidak terbatas pada beberapa bidang keilmuan saja,akan tetapi
meliputi berbagai cabang keilmuan sehingga kita bisa melihat lahirnya para
ilmuan besar pada masa ini, contohnya Al-Kindi (155-256 H) seorang filosof
besar yang menguasai beraneka bidang keilmuan, seperti matematika, astronomi,
musik, geometri, kedokteran dan politik, disamping nama-nama besar yang muncul
setelahnya, sebut saja Ar-Razi, Ibn Sina (370-428 H), Al-Farabi (359-438 H) dan
yang lainnya .
Sebagaimana kajian Islam mengambil berbagai tema untuk
bahan kajian tentang logika, etika, politik, metafisika dan lainnya, yang telah
lebih dulu dikaji oleh bangsa Yunani, sehingga sangat dimungkinkan bahwa
kajian-kajian filsafat islam dalam tema-tema ini dipengaruhi oleh filsafat
Yunani, akan tetapi sesungguhnya filsafat Islam dalam beberapa sisi secara
independen memiliki karakteristik yang berbeda dari filsafat Yunani. Filsafat
Islam bukanlah filsafat Aristotelian yang tertulis dalam bahasa Arab ataupun
filsafat Platonisme. Hal tersebut dapat dibuktikan dari upaya ahli kalam dari
kelompok Mu'tazilah maupun Asyâ’irah untuk menjelaskan bahwa Islam adalah agama
yang rasional, bahwa akal merupakan unsur penting dalam agama ini, sehingga
mereka membungkus filsafat dalam baju keagamaan, dan dari situ mereka memahami
agama Islam dengan corak filosofis. Akan tetapi selanjutnya keinginan para
filosof Islam untuk memperlihatkan agama Islam dalam suatu gambaran rasional
menyebabkan mereka menafsirkan sebagian persoalan ke-islam-an yang bersifat
ideologis (akidah) dengan teori-teori filsafat, hal ini oleh sebagian umat
islam dipandang menyalahi cara berpikir dan akidah agama Islam, maka mulailah
mereka mewaspadai dan mengkritik para filosof Islam tersebut.
Ke-filosof-an Ibn Taimiyyah
Sejak awal mula Ibn Taimiyyah menggeluti filsafat,
tujuannya bukanlah untuk mendalami dan memahami ilmu ini untuk kemudian
mengambil manfaat yang mungkin bisa diambil darinya, akan tetapi sebaliknya
untuk mencari sisi-sisi kesalahannya untuk kemudian merubuhkan bangunannya,
karena dalam pandangannya filsafat telah menjadi semacam penyakit yang
menyerang pemikiran orang-orang Islam, bahkan ia berpendapat bahwa sebelum
seseorang mendalami akidah Islam maka ia harus membersihkan diri dari segala
hal yang berbau filasafat yang menurutnya dihasilkan dari kebohongan
angan-angan dan bayangan , sikap Ibn Taimiyyah ini kalau kita telusuri lebih
jauh merupakan dampak dari kondisi politik dan sosio-kultural masyarakat muslim
pada waktu itu:
A. Kondisi Politik
Pada abad ketujuh dan kedelapan yang merupakan masa
penghabisan Daulah Abbasiah, kaum muslimin telah terpecah-belah dalam
kerajaan-kerajaan kecil yang antara satu dengan yang lainnya saling memusuhi.
Lebih dari itu, kerajaan-kerajaan kecil ini mendapat ancaman besar dari tiga
sisi: serangan bangsa Tartar dari arah timur (Mongolia), serangan pasukan
Perang Salib yang terus mendesak dari arah barat, serta ancaman akibat
perpecahan dari umat Islam sendiri, sampai-sampai Ibn Al-Atsir dalam kitabnya
"Al-Kamil" mengatakan: "Agama Islam dan kaum Muslimin pada waktu
ini benar-benar ditimpa oleh musibah yang belum pernah menimpa satupun dari
umat-umat sebelumnya…".
B. Kondisi Masyarakat
Sejak perang salib berkecamuk pada awal abad kelima
Hijriah, terjadilah berturan-benturan peradaban antara barat (Eropa) dan timur
(Arab), benturan-benturan ini dengan dahsyatnya berpengaruh terhadap
kebudayaan, adat, pemikiran, bahkan kehidupan beragama. Begitu juga ketika
bangsa Tartar mulai masuk dari arah timur dengan membawa kebiasaan, pemikiran,
dan tabiat-tabiatnya. Benturan-benturan tersebut mengakibatkan disosialis yang
berkepanjangan dalam berbagai aspek kehidupan kaum Muslim, ketakutan akan
terjadinya perang menyebabkan terjadinya gelombang-gelombang pengungsi yang
mengakibatkan bercampur-aduknya penduduk daerah satu dengan daerah yang
lainnya, seperti penduduk Irak yang mengungsi ke Syam ketika bangsa Tartar
menyerangnya, penduduk Mughol mengungsi ke Damaskus, yang kemudian bersama
penduduk Damaskus mengungsi ke Mesir dan bahkan ada yang mengungsi sampai ke
Maroko. Percampuran-percampuran secara terpaksa ini mau tidak mau ikut pula
mencampur-adukkan corak kejiwaan, pemikiran, dan kemasyarakatan kedalam suatu
adat (kebiasaan) yang berbeda, sehingga dari sini munculah suatu kumpulan
"masyarakat terpaksa" yang tidak mempunyai pegangan dan ketenangan,
dan kumpulan masyarakat ini terpusat di satu titik, yaitu Mesir.
C. Kondisi Pemikiran
Sebelum masa Ibn Taimiyyah sudah banyak tersebar
aliran-aliran pemikiran yang antara satu dengan yang lainnya tidak jarang
terjadi perselisihan-perselisihan, hal ini menyebabkan terbentangnya jarak
antara pengikut aliran yang satu dengan yang lainnya. Perpecahan tersebut
mencapai puncaknya pada masa Ibn Taimiyyah (abad ketujuh sampai awal abad
kedelapan), dimana pertentangan-pertentangan tersebut mengakibatkan
terpecah-belahnya para ulama dalam berbagai golongan. Di tengah keadaan ini,
mencuatlah para filosof Islam yang berusaha mensinkronkan antara filsafat
dengan agama sebagaimana dilakukan oleh para pengikut Ikhwan As-Shofa,
Al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Di sisi lain muncul pula para ulama yang berusaha
menggabungkan antara akal dan teks seperti Muhyiddin An-Nawawi dan Fakhruddin
Ar-Razi, kemudian disusul dengan munculnya para sufi yang berusaha
menggabungkan antara metode filsafat akal dengan kemurnian jiwa sampai kemudian
berakhir pada filsafat jiwa (spiritisme), dimana ajaran-ajaran kesufian
disokong penuh oleh pemerintahan yang berkuasa waktu itu sampai kemudian banyak
bermunculan apa yang disebut Ibn Taimiyyah sebagai "khurafat",
masyarakat yang terlalu mendewakan ulama, dan pengagung-agungan terhadap
kuburan. Dari kondisi semacam ini timbul-lah perdebatan pemikiran yang amat
sengit diantara para ulama, perang dalil dengan mengatasnamakan agama tidak
dapat dihindari untuk mengalahkan dan menguasai lawannya demi kepentingan
golongan, tanpa mencoba untuk saling mengerti dan memahami untuk kedamaian
bersama.
Dalam milleu seperti inilah seorang Ibn Taimiyyah
tumbuh, dengan berbekal latar belakang keluarga sederhana -pengikut Imam Ahmad
bin Hambal- yang memegang teguh ajaran agama serta keceerdasannya, ia keluar
dari sarangnya untuk meluruskan ajaran-ajaran agama yang dianggapnya sudah
melenceng jauh dari pakem yang seharusnya dilalui, khususnya dalam bidang
filsafat dan penggunaan akal manusia yang melampaui batas. iapun banyak
bertentangan dengan para ulama-ulama besar waktu itu, ini dapat kita lihat
dalam karya-karyanya yang banyak mengkritik Ibn Sina, al-Razi, al-Asy'ari,
al-Ghazali sampai Ibn Rusyd baik dalam mantiq, filsafat maupun tasawwufnya.
Ketegasan Dibalik Ketakutan
Dalam karyanya "Dar’u Ta'ârudh al-'Aql wa
al-Naql", Ibn Taimiyyah membuka kitabnya dengan mengkritik kaum filosof
sebagai "Ahli Bid'ah", disini ia secara langsung menukil pernyataan
Ar-Razi yang disebutnya sebagai "pegangan ahli bidah" (pegangan kauf
filosof, pen.) yang berbunyi:
"Ketika dalil 'aql dan naql saling bertentangan,
atau ketika teks naql dengan realita akal saling bertentangan maka kemungkinan
pemecahannya ada beberapa macam: a. Adakalanya dengan memadukan keduanya, dan
ini jelas-jelas tidak mungkin; b. Atau menolak kedua-duanya, dan hal ini pun
juga tidak mungkin; c. Atau dengan mengedepankan naql/teks, ini pun juga tidak
mungkin, karena akal adalah sumber teks, apabila kita mendahulukan naql maka
hal ini merupakan suatu bentuk penghinaan terhadap akal yang merupakan sumber
naql, dan penghinaan terhadap sumber sesuatu merupakan penghinaan terhadap
sesuatu itu sendiri, maka pendahuluan naql merupakan penghinaan terhadap akal
dan naql; d. Maka wajib mendahulukan akal untuk selanjutnya naql/teks mungkin
ditakwilkan dan kalau tidak mungkin maka ditiadakan."
Ibn Taimiyyah memandang ucapan Ar-Razi diatas sebagai
pedoman umum yang dipakai oleh kaum filosof dalam menentukan apa saja yang bisa
dijadikan dalil dari Kitab Allah SWT dan ucapan para Nabi, disamping apa saja
yang tidak bisa dijadikan dalil dari keduannya, menurutnya karena itulah kaum
filosof menentang pengambilan dalil dari apa yang dibawa oleh para Nabi dan
Rasul tentang sifat-sifat Allah SWT dan berbagai hal yang mereka beritakan,
kaum filosof berpendapat bahwa akal tidak dapat menerimanya. Pedoman seperti
ini menurut Ibn Taimiyyah menjadikan masing-masing kaum filosof meletakkan
dasar-dasar independen dalam menyikapi setiap hal yang dikabarkan oleh para
Nabi dan Rasul tentang Allah SWT, sehingga selanjutnya mereka meyakini bahwa
inti-dasar yang mereka yakini kebenarannya adalah apa yang mereka perkirakan
bahwa akal mereka bisa mengetahui dan mencernanya dan meletakkan segala yang
dikabarkan oleh para Nabi dan Rasul tunduk mengikuti garis-garis metode akal
yang mereka ciptakan, untuk kemudian yang cocok mereka ambil dan yang mereka rasa
tidak cocok mereka buang.
Analisa Ibn Taimiyyah diatas agaknya lebih didasari
oleh ketakutannya akan pengaruh-pengaruh luar yang ia rasa dapat mengancam
kemurnian dan kesucian kepercayaan yang diyakininya, hal ini sebenarnya masih
dalam batas-batas kewajaran melihat latar belakang keluarganya yang dengan
teguh berjalan diatas rel madzhab Hanbali, seorang murid Asy-Syafi'i yang
terkenal memegang teguh ajaran-ajaran Alqur'an dan As-Sunnah, dimana sudah
sepatutnya baginya untuk mempertahankan keyakinannya dalam kondisi yang
morat-marit akibat peperangan yang berkepanjangan dan benturan peradaban yang
sedikit banyak mengakibatkan menimbulkan pesimisme terhadap sebagian besar kaum
muslim.
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa Ibn
Taimiyyah mendalami filsafat bukanlah untuk memahami dan menyingkap kebenaran
yang mungkin didapatkan didalamnya, melainkan untuk menghancurkan
sendi-sendinya, maka dalam analisanya tetang metode Kaum Filosof yang
dianggabnya sebagai ahli bid’ah dalam menguraikan nash membagi metode-metode
kaum filosof dalam dua kelompok:
D Metode penggantian (tabdil), yang diikuti oleh dua
golongan:
1. Kaum Pengkhayal
Kelompok ini menurutnya, berpendapat bahwa para Nabi
dan Rasul mengabarkan tentang Allah SWT, Malaikat, hari akhir, surga dan neraka
serta hal-hal ghaib lainnya dengan ungkapan-ungkapan yang tidak cocok dengan
yang sebenarnya, sebaliknya mereka mengabarkan kepada umatnya berdasarkan atas
khayalan-khayalan yang mereka buat tentang keagungan Allah SWT, kenikmatan
inderawi atau siksa badani yang akan mereka dapatkan di akhirat, walaupun
mereka mengetahui bahwa yang sebenarnya bukanlah seperti itu. Akan tetapi untuk
memberikan kepada umatnya pemahaman, mereka melakukan hal ini, jadi menurut
kelompok ini , walaupun hal ini merupakan suatu bentuk kebohongan, akan tetapi
dilakukan untuk kebaikan umat, karena dakwah mereka tidak dapat dimungkinkan
kecuali dengan cara ini.
Sebagian dari kelompok ini menganggap bahwa kedudukan
para filosof dan wali lebih utama dibandingkan dengan para Nabi dan Rasul,
karena mereka mengetahui yang sebenarnya, dan sebagian yang lain menganggap
para Nabi dan Rasul lebih mulia dibanding filosof dan wali, karena mereka
mengira bahwa para Nabi dan Rasul mengetahui yang sebenarnya akan tetapi
mengabarkan pada umatnya dengan apa yang dapat diterima oleh umatnya. Kelompok
ini banyak diikuti oleh golongan Filsafat Kebatinan dan para pengikut Ikhwan
al-Shofa, juga Al-Farabi, Ibn Sina, al-Syahrurdi al-Maqthul dan Ibn Rusyd.
2. Kaum Perubah dan Pentakwil
Kaum ini berpendapat bahwa para Nabi dan Rasul tidak
mengungkapkan tentang Allah SWT, malaikat, surga dan neraka serta perkara ghaib
lainnya kecuali untuk kebenaran, dan kebenaran adalah apa yang diketahui dan
dibuktikan oleh akal kita, maka kemudian mereka mencoba untuk mentakwilkan
ucapan-ucapan ini dengan apa yang mereka pandang cocok dengan pendapatnya,
dengan beragam takwilan yang membawa bahasa asalnya untuk keluar dari
pengertian yang sebenarnya, seperti halnya mereka merubah suatu lafadz dari
satu makna ke makna lain yang mereka inginkan tanpa bertujuan untuk mengetahui
maksud pembawa lafadz, walaupun sebenarnya mereka mengetahui maksud sebenarnya
dari Sang Mutakallim. Jika setiap pentakwilan tidak bertujuan untuk menjelaskan
makna yang dimaksud dari pembawa lafadz maka menurut Ibn Taimiyyah mereka telah
melakukan kebohongan dengan menutupi makna asalnya, karena itulah menurutnya
sebagian besar kaum filosof tidak secara tegas menyatakan takwilannya, akan
tetapi kebanyakan mereka mengatakan: “ ini boleh dimaksudkan begini…” dan
sebagainya yang tujuannya untuk menunjukkan adanya kemungkinan-kemungkinan
dalam suatu lafadz. Secara global menurutnya, ini adalah metode kebanyakan ahli
kalam, seperti: Mu’tazilah, Kullabiyah, Salimiyah, Karramiyah dan Syi’ah.
E Metode Pembodohan
Inilah yang menurut Ibn Taimiyyah sebagai ahli
kesesatan dan kebodohan, dimana mereka berpedoman bahwa para Nabi dan Rasul
serta seluruh pengikutnya adalah orang-orang bodoh lagi sesat, yang tidak
mengetahui apa yang diinginkan oleh Allah SWT dari apa yang disifati-Nya untuk
diri-Nya sendiri yang tertuang dalam ayat-ayat-Nya. Adapun sebagian lain dari
kelompok ini mengatakan bahwa kandungan dari ayat-ayat Allah SWT sebenarnya
bertentangan dari apa yang tampak dari lahiriyah teks, dan tidak ada satupun
dari para Nabi, Rasul, Malaikat, Sahabat dan Ulama yang mengetahui apa yang
diinginkan oleh Allah seperti halnya mereka tidak mengetahui kapan datangnya
hari kiamat.
Antara Ibn Taimiyyah dan Al-Ghazali
Berbeda dengan Ibn Taimiyyah, Al-Ghazali mempelajari
dan mendalami filsafat adalah untuk menyingkap kebenaran-kebenaran yang mungkin
akan ditemukan didalamnya, yang mana dalam hal ini ia berpedoman, bahwa
keraguan adalah sarana untuk sampai pada keyakinan. Setelah mendalami filsafat
ia mendapatkan kesalahan-kesalahan yang banyak dilakukan oleh para filosof,
maka kemudian ia mencoba untuk keluar dari filsafat dan kembali kepada agama
serta menenggelamkan dirinya dalam dunia kesufian untuk selanjutnya menggunakan
pengetahuannya tentang filsafat untuk menyingkap kesesatan-kesesatan para
filosof dalam karyanya “Tahâfut Al-Falâsifah”. Akan tetapi pada kenyataannya
Al-Ghazali tidak bisa benar-benar lepas dari filsafat, dimana dalam jiwanya
masih tersisa pengaruh filsafat, karena ketika ia memutuskan untuk meninggalkan
filsafat, pikirannya sudah terbentuk kedalam pola pemikiran filsafat, bahkan
kemudian ia mengambil salah satu cabang filsafat sebagai bahan kajian utamanya,
yaitu ilmu mantiq yang menurutnya merupakan salah satu unsur dasar dalam
mempelajari Ushul Fiqh, ia meyakini bahwa tidak mungkin memahami suatu keilmuan
secara sempurna kecuali dengan ilmu mantiq.
Kritik Ibn Taimiyyah terhadap Al-Ghazali tentang
kejadian jisim dan alam
Ketika Al-Ghazali menjelaskan tentang kesalahan kaum
filosof tentang pengingkaran Wujud Yang Pertama sebagai jisim, dikarenakan
mereka mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang kadangkala mengharuskan penggabungan
antara dua hal yang bertentangan, atau kadangkala membuang keduanya, maka
disini Ibn Taimiyyah mengkritik dalil-dalil yang digunakan Al-Ghazali dan
pengikutnya yang hanya memasukkan sedikit saja dalil-dalil Qur’an dalam
penjelasannya, ia menganggap Al-Ghazali dan pengikutnya seolah-olah tidak
mengetahui atau mengabaikan dalil-dalil Qur’an yang dianggapnya lebih cocok
untuk diterapkan. Sebagaimana dalam masalah kejadian alam dimana Al-Ghazali dan
pengikutnya hanya memfokuskan kritikannya pada dua ungkapan kaum filosof:
1. Ungkapan tentang hal lebih dulunya alam (Qidam
Al-‘Alam), dimana menurut para filosof apabila hal ini muncul dari adanya sebab
yang mewajibkannya, maka akibat harus bergandengan dengan sebabnya dalam hal
kekekalan dan keabadiannya.
2. Ungkapan bahwa perkara yang dikerjakan munculnya
dibelakang penciptanya, dan bahwa pencipta tidak boleh selalu bersabda dan
berbuat apa saja sesuai dengan keinginannya.
Kemudian Ibn Taimiyyah membeberkan bahwa dalam
pandangannya Al-Ghazali dan pengikutnya mengabaikan ungkapan yang benar yang
telah disepakati oleh ulama salaf, bahwa akibat datangnya selalu mengiringi
Sang Maha Penyebab, dimana apabila ia berkehendak mencipta sesuatu, maka
sesuatu itu akan muncul mengiringi penciptaan itu, sebagaimana sabda-Nya: إنما
أمره إذا أراد شيئا أن يقول له كن فيكون “Sesungguhnya perintahnya apabila Dia
menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya ‘jadilah’ maka terjadilah ia”
Dan inilah yang menurut Ibn Taimiyyah bisa dicerna oleh akal, yang menurutnya
hanya boleh menerima hal-hal yang sederhana dan pasti (badihi), sebagaimana
jatuhnya talak beriringan dengan pentalakan dan datangnya kebebasan beriringan
dengan pembebasan. Maka yang Allah SWT inginkan akan terwujud dan yang tidak ia
kehendaki tak akan pernah ada. Sudut pandang lain Ibn Taimiyyah terhadap
filsafat
Kita semua hampir sepakat bahwa Ibn Taimiyyah
merupakan sosok ulama yang menentang filsafat dengan keras, juga terhadap
segala pemikiran keagamaan yang dibumbui oleh campur tangan akal. Akan tetapi
kalau kita menelusuri lebih jauh sosok ini, kita akan menemukan warna yang
berbeda dalam pendapatnya, warna yang menurut penulis menunjukkan kapasitas
kaulamaannya secara murni tanpa dipengaruhi oleh gejala politik dan
sosio-kultural yang berkecamuk pada zamannya, hal ini terungkap ketika ia
menjelaskan tentang kemungkinan masuknya akal pada kehidupan agama dalam
menjelaskan makna ayat-ayat Allah SWT, dengan batasan tidak untuk mengurai Dzat
Allah SWT. Coba kita simak ungkapannya berikut ini:
“Adapun pengetahuan tentang makna ayat-ayat yang
disampaikan Allah SWT selagi tidak dalam lingkup ketuhanan-Nya, maka pemikiran
dan perkiraan bisa masuk kedalamnya, sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur’an.
Karena itulah, banyak dari ahli ibadah dan kaum sufi yang menganjurkan untuk
melanggengkan dzikir dan menjadikannya sebagai pintu untuk sampai kepada
kebenaran, hal ini akan lebih bagus apabila digabungkan dengan bertadabbur atas
kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan banyak juga dari para pemikir
dan ahli kalam yang menganjurkan untuk selalu berpikir dan merenung sebagai
jalan untuk mengetahui kebenaran. Kedua metode ini mempunyai sisi kebenaran
masing-masing, akan tetapi masih membutuhkan kebenaran yang terdapat pada yang
lainnya, dan keduanya harus dibersihkan dari kesesatan-kesesatan yang mungkin
masuk dalam keduanya dengan cara mengikuti apa yang telah disampaikan oleh
Allah SWT dan para Rasul-Nya.”
Dalam lembaran lainnya Ibn Taimiyyah kembali
membuktikan kapasitasnya sebagai seorang mujaddid dengan membagi ilmu dalam dua
golongan:
1. Ilmu yang didapat dari akal. Seperti matematika,
kedokteran, perdagangan dan sebagainya, yang selanjutnya ia mengatakan bahwa
ilmu filsafat yang berupa mantiq, ilmu alam dan astronomi yang berasal dari
India dan Yunani beserta ilmu-ilmu lain dari Romawi dan Persia, ketika masuk
dalam dunia Islam, orang-orang Islam mengoreksi, memperbaiki dan
menyempurnakannya dengan berbekal kekuatan akal dan kefasihan bahasanya. Maka
menurutnya ilmu-ilmu ini dalam tangan kaum muslim menjadi lebih sempurna, lebih
mencakup dan lebih gamblang, walaupun selanjutnya ia mengecualikan permainan
akal dalam masalah agama, khususnya dalam masalah ketuhanan. 2. Ilmu yang
dihasilkan dari petunjuk para Nabi dan Utusan.
Telaah Mantiq Ibn Taimiyyah
Ibn Taimiyyah mendapatkan pengetahuan tentang mantiq
dengan mempelajari mantiq Aristoteles (322-384 SM) dimana sebagian besar ulama
muslim berkiblat kepadanya, sebagaimana ia mempelajari filsafat, iapun
mempelajari mantiq untuk mencari titik kelemahan dari ilmu ini, dan setelah ia
merasa cukup ia pun mulai memberontak terhadap ilmu yang dianggapnya sebagai
ilmu orang-orang murtad ini, ia menggerakkan masyarakat disekitarnya untuk
menentang keberadaan ilmu ini dalam dunia Islam, dengan menjelaskan bahwa
mantiq merupakan barang asing bagi ranah pemikiran Islam, dan untuk membuktikan
kebenaran ajaran Islam tidak membutuhkan ilmu ini. Lebih lanjut ia mengatakan
bahwa mantiq sama sekali tidak dapat digunakan sebagai timbangan kebenaran
sebagaimana selama ini didengungkan oleh kaum filosof, karena menurutnya mantiq
hanyalah berisi khayalan dan angan-angan.
Tidak cukup sampai disini, ia mengungkapkan bahwa
sebenarnya para fuqaha sebelum masa Al-Ghazali memandang mantiq dengan
pandangan kebencian dan penuh waspada terhadapnya dengan tujuan untuk menjaga
ilmu Islam. Al-Ghazali lah yang menurutnya sebagai orang pertama yang
menyatakan keharusan mengambil mantiq untuk menyempurnakan ilmu-ilmu keislaman.
Ia kemudian mengkutip ungkapan Ibn Sholah yang menuturkan kesesatan ilmu
mantiq: “Mantiq adalah pengantar filsafat, dan pengantar kesesatan adalah
sesat, dan bersungguh-sungguh dalam mempelajarinya bukanlah perkara yang
diperbolehkan oleh Pembuat Syari’at, dan tidak ada satupun dari para Sahabat,
Tabi’in, dan Imam Mujtahid yang memperbolehkanya, sebagaimana pula para Ulama
Salaf dan pengikutnya”
Selanjutnya Ibn Taimiyyah mengkritik pengunaan
istilah-istilah filsafat dan mantiq dalam khazanah keilmuan Islam: “
Sesungguhnya ini ( mantiq) merupakan suatu bentuk pengingkaran yang buruk dan
model baru dari kebodohan. Dan pada dasarnya hukum syari’at tidak membutuhkan
mantiq, apa yang disangka pakar mantiq tentang mantiq sebagai penentu dan
burhan hanyalah gelembung-gelembung yang diberikan Allah SWT. kepada setiap
jiwa yang sehat, lebih-lebih dalam penggunaannya sebagai teori ilmu-ilmu
syari’at. Karena ilmu syari’at telah sempurna dan para ulama sudah mendalami
kebenarannya dengan sedetail-detailnya sehingga tidak dibutuhkan lagi ilmu
mantiq ataupun filsafat beserta para filosofnya. Dan barang siapa yang
menganggap bahwa ia mendalami mantiq dan filsafat dengan harapan mendapatkan
manfaat dari keduanya, maka sesungguhnya ia telah tertipu oleh syetan.”
Ibn Taimiyyah juga menyerang mantiq dari segi
ketidakmanfaatan ilmu ini, ia mengungkapkan bahwa tidak ada gunanya bagi
seseorang mempelajari ilmu ini, baik itu secara keilmuan maupun teori, dengan
dalih tidak ditemukannya satupun dari penduduk bumi yang berhasil menciptakan
suatu ilmu dan menjadi pemuka didalamnya dengan berbekal ilmu mantiq, baik ilmu
agama maupun lainnya. Dokter, Arsitek, Penulis, Ahli Statistik dan lainnya
menurutnya mendalami keilmuannya dan mengeluarkan produknya tanpa pertolongan
mantiq, sebelum mantiq datang pun para ulama Islam telah berhasil menyusun
ilmu-ilmu nahwu, arudh, dan fiqh beserta ushulnya.
Tidak cukup dengan ini, Ibn Taimiyyah meneruskan
serangannya pada ide dasar keilmuan ini yang bersumber pada pembagian ilmu
menjadi tashawwur(visualisasi) dan tashdiq(legalisasi) dimana jalan untuk
mendapatkan tashawwur adalah dengan had (definisi) dan jalan untuk mendapatkan
tashdiq adalah dengan qiyas(analogi), juga tentang kalam yang terbagi menjadi
empat tingkatan: dua tingkatan salbiah (negatif) dan dua tingkatan mujabah
(positif), semua pembagian ini dianggap Ibn Taimiyyah sebagai suatu betuk
kebohongan dan kebodohan baik dalam penafian maupun penetapannya, maka
selanjutnya ia mengingkari segala kebenaran yang diperoleh dengan sylogisme
mantiq dan analogi mantiq.
Kesimpulan Dan Penutup
Dari berbagai uraian diatas kita bisa mengambil
kesimpulan bahwa watak dan ungkapan seseorang merupakan cerminan dari situasi
politik dan sosio-kultural suatu masa, dimana semakin tinggi tingkat pressing
suatu zaman terhadap apa yang dipangkunya, maka semakin kuat pula daya balik
yang diakibatkannya, kondisi "masyarakat terpaksa" yang serba panik
dicekam oleh ketakutan perang dan dibumbui oleh perpecahan intern sudah
sewajarnya berdampak pada kejiwaan kumpulan masyarakat ini. Apalagi ditambah
ruwetnya pertentangan antar pemikiran dan masuknya ilmu-ilmu dari peradaban
lain. Maka yang agaknya menjadi fokus pertanyaan kita adalah:
"Tepatkah ungkapan-ungkapan atau fatwa-fatwa yang
tumbuh dalam kondisi politik dan sosio-kultural semacam ini untuk diterapkan
dalam kondisi yang menjadi latar belakang kita saat ini?". Sebuah
pertanyaan dari penulis yang semoga bisa mengantarkan kita untuk terus mencari
dan memahami berbagai kejadian histories, untuk kemudian kita bisa mengambil
manfaat dari apa yang kita pahami, khususnya dari sosok Ibn Taimiyyah yang kita
bahas saat ini. Akhirnya beribu ungkapan terimakasih saya persembahkan untuk
Ayah dan Bunda yang selalu dan senantiasa mando'akan anaknya ini, dan tak lupa
ungkapan rasa salut kepada segenap rekan-rekan Fismaba selalu berusaha untuk
menambah wawasannya, permohonan maaf dari saya apabila dalam tulisan ini masih
terdapat banyak kesalahan. Allah…terimakasih atas segala karunia-Mu, karena
semuanya adalah milik-Mu, dari-Mu lah kami bisa memahami dan mengambil manfaat
dalam segalanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar