Rabu, 26 Desember 2012

Tugas kuliah teori pembelajaran

                                                 TUGAS KULIAH TERORI PEMBELAJARAN 



LAPORAN TUGAS HARIAN
MAKALAH TEORI PEMBELAJARAN
MENAGPA EBTANAS DIPERTAHANKAN
DOSEN PENGAMPU : PANJI AGUS T.Mpd



DISUSUN OLEH:
                                                NAMA : Muhamad Ja’far Sidiq                    
NIM    : 40212098
KELAS/SEMESTER : PGSD 3 / 1

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
STKIP ISLAM BUMIAYU
2012/2013






DAFTAR ISI

Cover ------------------------------------------------------------------------------- 1
Daftar Isi  ---------------------------------------------------------------------------- 2
Bab I  Pembahasan ------------------------------------------------------------------ 3
            Mengapa Ebtanas dipertahankan  ------------------------------------------- 3
            Siapa Yang Diuntungkan Dengan Ebtanas---------------------------------- 5
Bab II  Tanggapan  ------------------------------------------------------------------ 6
A.     Tanggapan Para Ahli----------------------------------------------------- 6
B.     Tanggapan Penulis------------------------------------------------------- 6
Bab III      Kesimpulan dan Saran --------------------------------------------------- 7
A.    Kesimpulan -------------------------------------------------------------- 7
B.     Saran --------------------------------------------------------------------- 7







BAB I
PEMBHASAN
MENGAPA EBTANAS DIPERTAHANKAN
Banayaknya sekali argumen penghapusan Ebtanas oleh Mendiknas,yang sangat pragmatis yaitu wajib belajar 9tahun.Karena wajib belajar 9 tahun maka dari kelas 6 SD ke kelas 1 SLTP tidak perlu Ebtanas,padahal naik dari kelas 6 ke 7 perlu evaluasi belajar.Karena harus ada evaluasi maka sebagian orang daerah berfikir tentang penggantinya yaitu Ebtada.
Kalau penghapusan Ebtanas justru melahirkan Ebtada.Maka sesungguhnya tidak ada makna subtansial dari kepputusan Mendiknas tersebut.Hilanglah makna radikal sebagai perubahan.Tidak ada eformasi.
Sebagian kepala sekolah masih melaksanakan persipan-persiapan untuk Ebtanas,karena belum terima SK Mentri atau belum terima petunjuk pelaksanaan dari atas.Sementara ada sambungan positif,sebagai suatu yang telah lama ditunggu-tunggu.Karena selama ini Ebtanas tidak mencapai sasaran baik untuk memperoleh masukan buat perbaikan pengelolaan pendidikan atau peningkatan mutu atau sebagai laporan hasilbelajar.
Sudah berlangsung 16 tahun Ebtanas diselenggarakan,tetepi tidak pernah menjadi bahan untuk perbaikan.Sudah 16 kali Ebtanas diselenggarakan, hasil dari rata-rata tidak pernah berubah.Ini pun tidak mendorong upaya peningkatan mutu.Sudah 16 kali NEM digunakan sebagai tanda hasil belajar,tetapi lapangan pekerjaan dan perguruan tinggitidak mempergunakan sebagai pertimbangan kualitas pemegangnya.Ebtanas atau NEM bahkan talah ikut mengabaikan peran sekolah dan guru,karena keberhasilan NEM,lebih dirasakan sebagai hasil kerja bimbingan belajar.
Kesia-siaan Ebtanas pernnah dikritik BJ Habibie,karena modal soal pilihan ganda,memilih salah benar,dan isia sama sekali tidak melatih pengembangan daya pikir dan kemampuan ekspresi.Bahkan Prof. Andi Hakkim Nasution memandangnya sebagai upaya sia-sia yang justru membonsai perkembangan ilmu dan daya nalar murid.Argumen cara gampang ini patut disayangkan karena tidak menyentuh problem dasar dari keberatan terhadap Ebtanas.
Ada guru yang antusias menyambut dan merasa siberi kepercayaan untuk menilai hasil belajar anak didiknya.Telah lama ia merasa dibelunggu oleh target NEM,didikte oleh buku pelajaran atau terbitan swasta  dan dibukukan oleh GBPP.
Dengan penghapusan Ebtana,guru bisa lebih leluasa memilih bahan dan lebih kretif memilih cara,untuk memperoleh hasil perubahanperilaku,dan daya nalar muridnya.Tetapi ada pula guru yang bingung dan bertanya.Jadi apa penggantinya?Ebtada?Ebtasek?
Reaksi yang berbeda ini pasti disebabkan oleh latar belakang yanng berbeda pula.Dan sikap yang kedua dijadikan alasan oleh kaum tradisional yang kanservatif untuk menghukumi bahwa daerah atau guru belum siap untuk bertanggung jawab sendiri.Oleh karena itu  pengendaliaan birokrasi berupa petunjuk dab bimbingan masih sangat diperlukan atau bahkan menentang otonomisasi pendidikan.

Memang masih ada persoalan mendasar pada bangsa kita soal otonomi,yang bersumber pada otonomi manusia.Proklamasi kemerdekaan tahun 1945,memeng mengakhiri pemerintah jajahan.Bangsa indonesia memperoleh kemerdekaan.”Hal-hal yang mengenai pemmindahan kekuasaan” memeng dapat “diselenggarakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya .”
Tetapi maslah kebebasan warga negaraindonesi memiliki “perbedaan”,yaitu peralihan dari cara hidup bangsa terjajah kecara hidup manusia bebas,ternyata sampai dengan reformasi sekarang ini masih tetap menjadi persolan besar.
Persoalan “independence” selesai dalam waktu singkat,tetapi perssoalan beralih menjadi masalah”freedom”,yang ternyata memerlukan waktu yang sangat panjang.
Perubahan cara hidup yang panjang itu berjalan dalam proses belajar dalam pendidikan.Maka kalau pendidikan tidak mengubah prilaku,jika pendidikakan tidak menumbuhkan emansipasi manusia ke kesdaran kemerdekaan, maka manusia tidak akan pernah mengecap kesadaran otonominya.
Bila Malik Fajdar tidak menyembunyikan  argumen ideologinya dan tidak mengganti dengan argumen dangkal,maka keputusan menghapus Ebtanas akan bernilai reformasi pendidikan.Dan dia tidak akan ragu menghapuskan Ebtanas tingkat SLTP dan SLTA, dan melimpahkan wewenang evaluasi kepada guru kelas.Maka guru mrndapat kepercayaan “independency”yang akan menjadi modal baginya membangun manusia otonom.Kelak akan menjalar pada proses belajar anak-anak,sehingga mereka dapat berubah dari cara hidup tergantung menjadi cara hidup otonom.










SIAPA YANG DIUNTUNGKAN  DENGAN EBTANAS
Kalau ada yang diuntungkakn dengan Ebtanas pasti bukan siswa,bukan guru,buka sekolah  dan bukan orang tua murid.Honor mengawas rata-rata Rp. 1500 per mata pelajaran  ujian.Honor memeriksa  rata-rata Rp. 100 per nomor ujian.Pendapatan guru dari Ebtanas tidak lebih dari Rp. 100.000,- Yang mendapat penghasilan besar adalah Kakanwil,Kakandep dan personil kantor lainnya dan kepala sekolah.Yaitu mereka yang menjadi penasehat,ketua  dan panitia lainnya.
Ebtanas memberikan tambahan penghasilan yanng tidak sedikit kepada birokrat pendidikan.Kalau Ebtanas dihapuskan yang rugi  adalah mereka karena  penghasilan tambahan dari Ebtanas juga ikut hapus.
“Kemerdekaan”siswa lepas Ebtanas dengan membajak bus kota,dan bocornya soal-soal yang akan diujikan adalah fakta kemubaziran Ebtanas,tetapi mengundang prilakukriminal.
Evaluasi belajar perlu dilakukan seperti disampaikan dimuka.Evalusi belajar secara nasional juga perlu dilakukan untuk mengukur pencapaian “standard nasional”.Jadi Ebtanas adalah ujian nasional atau Ebtanas diganti dengan Ujian Nasional.Depdiknas lebih dulu menentukan standar nasional dalam penguasaan pengetahuan tertentu yang bersifat Universal,umpammanya matematika, ilmu pengetahuan alam,ilmu pengetahuan sosial,bahas asing dan mengarang.Standarisasi inilah yang diumumkan untuk menjadi acuan guru dan sekolah.Depdiknas tidak lagi menyusun GBPP,AMP,Juklak,Juknis dan Surat Edaran untuk dilaksanaan secar teknis oleh guru.Biarkan guru memilih cara mengaajarnya sendiri dan memilih bahan ajar,untuk mencapai standard nasional.
Dengan menghapuskan Ebtanas dan menyusun standar mutu lulusan pandidikan dasar dan menengah,Depdiknas bisa menyelenggarakan ujian nasional.Tidak perlu tiap tahun, tapi bisa 3 atau 5 tahun sekali.Hasilnya  dikategorikan pada pencapaian standard minimal ,normal dan tinggi.Jadi hasilnya rata-rata pencapaian sekolah,rata-rata pencapaian daerah otonom.Melepaskan pengelolaan pendidikan kepada daerah otonom.Depdiknas mendorong tumbuhnya energi kreatif pada daerah.Depdiknas memberi bekal kemerdekaan denngan standar pencapaian setiap jenjang pendidikan.Untuk memperoleh siswa unggulDepdiknas dapat menyelenggarakan lomba-lomba, festival atau pekan prestsi belajar.
Lanhkah ini,mennghapus Ebtanas,merupakan langkah demokratis pendidikan dan reformasi pendidikan.Tidak ada manfaatbagi Depdiknas menynggarakan Ebtanas dimana hasilnya tidak pernah dan tidak dapat dipakai sebagai umpan balik peningkatan mutu pendidikan.







BAB II
TANGGAPAN


A.Tanggapan Para Ahli
1.Kesia-siaan Ebtanas,karena modal soal pilihan ganda,memilih salah benar,dan isia sama sekali tidak melatih pengembangan daya pikir dan kemampuan ekspres(BJ Habibie)
2.Ebtanas dipandang sebagai upaya sia-sia yang justru membonsai perkembangan ilmu dan daya nalar murid.Argumen cara gampang ini patut disayangkan karena tidak menyentuh problem dasar dari keberatan terhadap Ebtanas.( Prof. Andi Hakkim Nasution)
B.Tanggapan Penulis
Apa yang di paparkan diatas mengenai pernyataan Ebtanas Dipertahankan,memang tepat jika pernyataan ini di tunjukan kapada pendidikan di indonesia.Hal ini disebabkan karena Ebtanas tidak ada artinya bila masih dipertahankan bagi siswa,karena Ebtanas hanya permain para pengawas,kepala sekolah beserta para anggota yang ikut seran dalam Ebtanas sehingga hanya menguntungkan para mereka.Tidak ada artinya bagi peserta atau siswa yang melakukan Ebtanas karena sebelum diadakan Ebtanas para peserta udah diberi kunci jawaban maka para siswa tidak ada keseriusan dalam melakukan Ebtanas.Sehinga siswa hanya sebagai eksekutor dalam permainan Ebtanas dan yang diuntungkan adalah para pegawas,kepala sekolah dan para anggota Ebtanas.










BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai Ebtanas dan tanggapan berbagai para ahli yang telah  dipaparkan diatas,kita dapatmengambil suatu kesimpulan bahwa pada intinya Ebanas yang ada di indonesia memang tidak ada artinya bagi para peserta atau siswa yang melakukan Ebtanas.Meraka melakukan Ebtanas hanya sebagai kegiatan yang harus di laksanakan dan mendapatkan nilai yang baik tanpa ada keseriusan dalam melaksakan.
B.Saran
Dari pembahasan yang ada diatas kita hanya bisa menyarankan kepada MENDIKNAS(menteri pendidikan nasional). Sesungguhnya Ebtanas harus diubah dalam sistemnya apa bila masih dipertahankan maka hanya mebodohkan para siswa atau peserta sehingga pesserta atau siswa hanya memiliki ketergantungan kepada orang lain dan tidak bisa menyampaikan kemampuan yang di miliki oleh diri sendiri.

Rabu, 19 Desember 2012

MATERI KULIAH FILSAFAT

Filsafat Islam Pasca-Ibn Rusyd/Filsuf Islam Pasca-Ibn Rusyd/Ibn Taimiyyah
Dari Wikibooks Indonesia, sumber buku teks bebas berbahasa Indonesia
Fenomena Filsafat Dan Mantiq Ibn Taimiyyah Oleh: Ilham Mustofal Ahyar
فمنه نتعلم وبه نتكلم وفيه ننظر ونفكر وبه نستدل ونحكم
Iftitah
Disamping fitrah untuk beragama yang ditanamkan Tuhan dalam jiwa manusia semenjak masih berada dalam rahim, manusia juga dibekali fitrah untuk berfikir yang merupakan sebuah potensi dahsyat dalam diri manusia, potensi ini bukan hanya membedakan manusia dengan makluk Tuhan yang lainnya, sebutlah tumbuhan, hewan, benda-benda mati, atau bahkan malaikat dan jin, lebih dari itu sekaligus mengantarkan manusia pada capaian-capaian kehidupan yang sangat mengagumkan secara spiritual maupun material, tersirat secara jelas dalam firman Allah SWT.:
وإذ قال ربك للملائكة إنى جاعل فى اللأرض خليفة قالوا أتجعل فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك قال إنى أعلم ما لا تعلمون ( البقرة: 30)
Dalam ayat ini Allah menjawab keraguan malaikat yang mengkhawatirkan akibat negatif dari penciptaan manusia sebagai penguasa (khalîfah) di dunia, dengan ucapannya: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui", kata-kata ini mengisyaratkan adanya potensi yang besar dalam diri manusia yang bahkan tidak diketahui para malaikat, sampai kemudian Allah SWT.memerintahkan Adam ِِِuntuk membuktikannya:
قال يا أدم أنبئهم بأسمائهم....
Bahwa potensi itu adalah rasionalitas yang berpadu dengan spiritualitas, rasionisasi yang menggerakkan spiritualitas ini, juga yang menggerakkan manusia untuk bertanya dan mencari sekian juta hal yang memenuhi kehidupannya; tentang alam, kehidupan, kematian, pencipta, masa depan dan sebagainya. Namun tidak berarti fitrah rasionalitas ini berjalan tanpa problem, dimana pada perjalanannya kita bisa melihat kasus-kasus historis yang menghadapkan kepada kita betapa kegagalan rasionalitas itu pula yang menjerumuskan manusia kedalam liang-liang penghancuran dirinya sendiri, kita bisa ambil contoh dari pengandaian sebagian manusia bahwa kemampuan akal manusia dapat mengurai dan memecahkan segala sesuatu telah melahirkan kaum atheis yang mengingkari keberadaan Tuhan.
Sekilas Filsafat Islam
Filsafat Islam muncul sebagai imbas dari gerakan penerjemahan besar-besaran dari buku-buku peradapan Yunani dan peradaban-peradaban lainnya pada masa kejayaan Daulah Abbasiah, dimana pemerintahan yang berkuasa waktu itu memberikan sokongan penuh terhadap gerakan penerjemahan ini, sehingga para ulama bersemangat untuk melakukan penerjemahan dari berbagai macam keilmuan yang dimiliki peradaban Yunani kedalam bahasa Arab, dan prestasi yang paling gemilang dari gerakan ini adalah ketika para ulama berhasil menerjemahkan ilmu filsafat yang mejadi maskot dari peradaban Yunani waktu itu, baik filsafat Plato, Aristoteles, maupun yang lainnya. Sebenarnya gerakan penerjemahan ini dimulai semenjak masa Daulah Umawiyyah atas perintah dari Khalid bin Yazid Al-Umawî untuk menerjemahkan buku-buku kedokteran, kimia dan geometria dari Yunani, akan tetapi para Ahli Sejarah lebih condong bahwa gerakan ini benar-benar dilaksanakan pada masa pemerintahan Daulah Abbasiah saja, dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Al-Manshur (136-158 H) hingga masa pamerintahan AL-Ma'mun (198-218 H) , dimana penerjemahan ini tidak terbatas pada beberapa bidang keilmuan saja,akan tetapi meliputi berbagai cabang keilmuan sehingga kita bisa melihat lahirnya para ilmuan besar pada masa ini, contohnya Al-Kindi (155-256 H) seorang filosof besar yang menguasai beraneka bidang keilmuan, seperti matematika, astronomi, musik, geometri, kedokteran dan politik, disamping nama-nama besar yang muncul setelahnya, sebut saja Ar-Razi, Ibn Sina (370-428 H), Al-Farabi (359-438 H) dan yang lainnya .
Sebagaimana kajian Islam mengambil berbagai tema untuk bahan kajian tentang logika, etika, politik, metafisika dan lainnya, yang telah lebih dulu dikaji oleh bangsa Yunani, sehingga sangat dimungkinkan bahwa kajian-kajian filsafat islam dalam tema-tema ini dipengaruhi oleh filsafat Yunani, akan tetapi sesungguhnya filsafat Islam dalam beberapa sisi secara independen memiliki karakteristik yang berbeda dari filsafat Yunani. Filsafat Islam bukanlah filsafat Aristotelian yang tertulis dalam bahasa Arab ataupun filsafat Platonisme. Hal tersebut dapat dibuktikan dari upaya ahli kalam dari kelompok Mu'tazilah maupun Asyâ’irah untuk menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang rasional, bahwa akal merupakan unsur penting dalam agama ini, sehingga mereka membungkus filsafat dalam baju keagamaan, dan dari situ mereka memahami agama Islam dengan corak filosofis. Akan tetapi selanjutnya keinginan para filosof Islam untuk memperlihatkan agama Islam dalam suatu gambaran rasional menyebabkan mereka menafsirkan sebagian persoalan ke-islam-an yang bersifat ideologis (akidah) dengan teori-teori filsafat, hal ini oleh sebagian umat islam dipandang menyalahi cara berpikir dan akidah agama Islam, maka mulailah mereka mewaspadai dan mengkritik para filosof Islam tersebut.
Ke-filosof-an Ibn Taimiyyah
Sejak awal mula Ibn Taimiyyah menggeluti filsafat, tujuannya bukanlah untuk mendalami dan memahami ilmu ini untuk kemudian mengambil manfaat yang mungkin bisa diambil darinya, akan tetapi sebaliknya untuk mencari sisi-sisi kesalahannya untuk kemudian merubuhkan bangunannya, karena dalam pandangannya filsafat telah menjadi semacam penyakit yang menyerang pemikiran orang-orang Islam, bahkan ia berpendapat bahwa sebelum seseorang mendalami akidah Islam maka ia harus membersihkan diri dari segala hal yang berbau filasafat yang menurutnya dihasilkan dari kebohongan angan-angan dan bayangan , sikap Ibn Taimiyyah ini kalau kita telusuri lebih jauh merupakan dampak dari kondisi politik dan sosio-kultural masyarakat muslim pada waktu itu:
A. Kondisi Politik
Pada abad ketujuh dan kedelapan yang merupakan masa penghabisan Daulah Abbasiah, kaum muslimin telah terpecah-belah dalam kerajaan-kerajaan kecil yang antara satu dengan yang lainnya saling memusuhi. Lebih dari itu, kerajaan-kerajaan kecil ini mendapat ancaman besar dari tiga sisi: serangan bangsa Tartar dari arah timur (Mongolia), serangan pasukan Perang Salib yang terus mendesak dari arah barat, serta ancaman akibat perpecahan dari umat Islam sendiri, sampai-sampai Ibn Al-Atsir dalam kitabnya "Al-Kamil" mengatakan: "Agama Islam dan kaum Muslimin pada waktu ini benar-benar ditimpa oleh musibah yang belum pernah menimpa satupun dari umat-umat sebelumnya…".

B. Kondisi Masyarakat
Sejak perang salib berkecamuk pada awal abad kelima Hijriah, terjadilah berturan-benturan peradaban antara barat (Eropa) dan timur (Arab), benturan-benturan ini dengan dahsyatnya berpengaruh terhadap kebudayaan, adat, pemikiran, bahkan kehidupan beragama. Begitu juga ketika bangsa Tartar mulai masuk dari arah timur dengan membawa kebiasaan, pemikiran, dan tabiat-tabiatnya. Benturan-benturan tersebut mengakibatkan disosialis yang berkepanjangan dalam berbagai aspek kehidupan kaum Muslim, ketakutan akan terjadinya perang menyebabkan terjadinya gelombang-gelombang pengungsi yang mengakibatkan bercampur-aduknya penduduk daerah satu dengan daerah yang lainnya, seperti penduduk Irak yang mengungsi ke Syam ketika bangsa Tartar menyerangnya, penduduk Mughol mengungsi ke Damaskus, yang kemudian bersama penduduk Damaskus mengungsi ke Mesir dan bahkan ada yang mengungsi sampai ke Maroko. Percampuran-percampuran secara terpaksa ini mau tidak mau ikut pula mencampur-adukkan corak kejiwaan, pemikiran, dan kemasyarakatan kedalam suatu adat (kebiasaan) yang berbeda, sehingga dari sini munculah suatu kumpulan "masyarakat terpaksa" yang tidak mempunyai pegangan dan ketenangan, dan kumpulan masyarakat ini terpusat di satu titik, yaitu Mesir.
C. Kondisi Pemikiran
Sebelum masa Ibn Taimiyyah sudah banyak tersebar aliran-aliran pemikiran yang antara satu dengan yang lainnya tidak jarang terjadi perselisihan-perselisihan, hal ini menyebabkan terbentangnya jarak antara pengikut aliran yang satu dengan yang lainnya. Perpecahan tersebut mencapai puncaknya pada masa Ibn Taimiyyah (abad ketujuh sampai awal abad kedelapan), dimana pertentangan-pertentangan tersebut mengakibatkan terpecah-belahnya para ulama dalam berbagai golongan. Di tengah keadaan ini, mencuatlah para filosof Islam yang berusaha mensinkronkan antara filsafat dengan agama sebagaimana dilakukan oleh para pengikut Ikhwan As-Shofa, Al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Di sisi lain muncul pula para ulama yang berusaha menggabungkan antara akal dan teks seperti Muhyiddin An-Nawawi dan Fakhruddin Ar-Razi, kemudian disusul dengan munculnya para sufi yang berusaha menggabungkan antara metode filsafat akal dengan kemurnian jiwa sampai kemudian berakhir pada filsafat jiwa (spiritisme), dimana ajaran-ajaran kesufian disokong penuh oleh pemerintahan yang berkuasa waktu itu sampai kemudian banyak bermunculan apa yang disebut Ibn Taimiyyah sebagai "khurafat", masyarakat yang terlalu mendewakan ulama, dan pengagung-agungan terhadap kuburan. Dari kondisi semacam ini timbul-lah perdebatan pemikiran yang amat sengit diantara para ulama, perang dalil dengan mengatasnamakan agama tidak dapat dihindari untuk mengalahkan dan menguasai lawannya demi kepentingan golongan, tanpa mencoba untuk saling mengerti dan memahami untuk kedamaian bersama.
Dalam milleu seperti inilah seorang Ibn Taimiyyah tumbuh, dengan berbekal latar belakang keluarga sederhana -pengikut Imam Ahmad bin Hambal- yang memegang teguh ajaran agama serta keceerdasannya, ia keluar dari sarangnya untuk meluruskan ajaran-ajaran agama yang dianggapnya sudah melenceng jauh dari pakem yang seharusnya dilalui, khususnya dalam bidang filsafat dan penggunaan akal manusia yang melampaui batas. iapun banyak bertentangan dengan para ulama-ulama besar waktu itu, ini dapat kita lihat dalam karya-karyanya yang banyak mengkritik Ibn Sina, al-Razi, al-Asy'ari, al-Ghazali sampai Ibn Rusyd baik dalam mantiq, filsafat maupun tasawwufnya.
Ketegasan Dibalik Ketakutan
Dalam karyanya "Dar’u Ta'ârudh al-'Aql wa al-Naql", Ibn Taimiyyah membuka kitabnya dengan mengkritik kaum filosof sebagai "Ahli Bid'ah", disini ia secara langsung menukil pernyataan Ar-Razi yang disebutnya sebagai "pegangan ahli bidah" (pegangan kauf filosof, pen.) yang berbunyi:
"Ketika dalil 'aql dan naql saling bertentangan, atau ketika teks naql dengan realita akal saling bertentangan maka kemungkinan pemecahannya ada beberapa macam: a. Adakalanya dengan memadukan keduanya, dan ini jelas-jelas tidak mungkin; b. Atau menolak kedua-duanya, dan hal ini pun juga tidak mungkin; c. Atau dengan mengedepankan naql/teks, ini pun juga tidak mungkin, karena akal adalah sumber teks, apabila kita mendahulukan naql maka hal ini merupakan suatu bentuk penghinaan terhadap akal yang merupakan sumber naql, dan penghinaan terhadap sumber sesuatu merupakan penghinaan terhadap sesuatu itu sendiri, maka pendahuluan naql merupakan penghinaan terhadap akal dan naql; d. Maka wajib mendahulukan akal untuk selanjutnya naql/teks mungkin ditakwilkan dan kalau tidak mungkin maka ditiadakan."
Ibn Taimiyyah memandang ucapan Ar-Razi diatas sebagai pedoman umum yang dipakai oleh kaum filosof dalam menentukan apa saja yang bisa dijadikan dalil dari Kitab Allah SWT dan ucapan para Nabi, disamping apa saja yang tidak bisa dijadikan dalil dari keduannya, menurutnya karena itulah kaum filosof menentang pengambilan dalil dari apa yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul tentang sifat-sifat Allah SWT dan berbagai hal yang mereka beritakan, kaum filosof berpendapat bahwa akal tidak dapat menerimanya. Pedoman seperti ini menurut Ibn Taimiyyah menjadikan masing-masing kaum filosof meletakkan dasar-dasar independen dalam menyikapi setiap hal yang dikabarkan oleh para Nabi dan Rasul tentang Allah SWT, sehingga selanjutnya mereka meyakini bahwa inti-dasar yang mereka yakini kebenarannya adalah apa yang mereka perkirakan bahwa akal mereka bisa mengetahui dan mencernanya dan meletakkan segala yang dikabarkan oleh para Nabi dan Rasul tunduk mengikuti garis-garis metode akal yang mereka ciptakan, untuk kemudian yang cocok mereka ambil dan yang mereka rasa tidak cocok mereka buang.
Analisa Ibn Taimiyyah diatas agaknya lebih didasari oleh ketakutannya akan pengaruh-pengaruh luar yang ia rasa dapat mengancam kemurnian dan kesucian kepercayaan yang diyakininya, hal ini sebenarnya masih dalam batas-batas kewajaran melihat latar belakang keluarganya yang dengan teguh berjalan diatas rel madzhab Hanbali, seorang murid Asy-Syafi'i yang terkenal memegang teguh ajaran-ajaran Alqur'an dan As-Sunnah, dimana sudah sepatutnya baginya untuk mempertahankan keyakinannya dalam kondisi yang morat-marit akibat peperangan yang berkepanjangan dan benturan peradaban yang sedikit banyak mengakibatkan menimbulkan pesimisme terhadap sebagian besar kaum muslim.
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa Ibn Taimiyyah mendalami filsafat bukanlah untuk memahami dan menyingkap kebenaran yang mungkin didapatkan didalamnya, melainkan untuk menghancurkan sendi-sendinya, maka dalam analisanya tetang metode Kaum Filosof yang dianggabnya sebagai ahli bid’ah dalam menguraikan nash membagi metode-metode kaum filosof dalam dua kelompok:
D Metode penggantian (tabdil), yang diikuti oleh dua golongan:
1. Kaum Pengkhayal
Kelompok ini menurutnya, berpendapat bahwa para Nabi dan Rasul mengabarkan tentang Allah SWT, Malaikat, hari akhir, surga dan neraka serta hal-hal ghaib lainnya dengan ungkapan-ungkapan yang tidak cocok dengan yang sebenarnya, sebaliknya mereka mengabarkan kepada umatnya berdasarkan atas khayalan-khayalan yang mereka buat tentang keagungan Allah SWT, kenikmatan inderawi atau siksa badani yang akan mereka dapatkan di akhirat, walaupun mereka mengetahui bahwa yang sebenarnya bukanlah seperti itu. Akan tetapi untuk memberikan kepada umatnya pemahaman, mereka melakukan hal ini, jadi menurut kelompok ini , walaupun hal ini merupakan suatu bentuk kebohongan, akan tetapi dilakukan untuk kebaikan umat, karena dakwah mereka tidak dapat dimungkinkan kecuali dengan cara ini.
Sebagian dari kelompok ini menganggap bahwa kedudukan para filosof dan wali lebih utama dibandingkan dengan para Nabi dan Rasul, karena mereka mengetahui yang sebenarnya, dan sebagian yang lain menganggap para Nabi dan Rasul lebih mulia dibanding filosof dan wali, karena mereka mengira bahwa para Nabi dan Rasul mengetahui yang sebenarnya akan tetapi mengabarkan pada umatnya dengan apa yang dapat diterima oleh umatnya. Kelompok ini banyak diikuti oleh golongan Filsafat Kebatinan dan para pengikut Ikhwan al-Shofa, juga Al-Farabi, Ibn Sina, al-Syahrurdi al-Maqthul dan Ibn Rusyd.

2. Kaum Perubah dan Pentakwil
Kaum ini berpendapat bahwa para Nabi dan Rasul tidak mengungkapkan tentang Allah SWT, malaikat, surga dan neraka serta perkara ghaib lainnya kecuali untuk kebenaran, dan kebenaran adalah apa yang diketahui dan dibuktikan oleh akal kita, maka kemudian mereka mencoba untuk mentakwilkan ucapan-ucapan ini dengan apa yang mereka pandang cocok dengan pendapatnya, dengan beragam takwilan yang membawa bahasa asalnya untuk keluar dari pengertian yang sebenarnya, seperti halnya mereka merubah suatu lafadz dari satu makna ke makna lain yang mereka inginkan tanpa bertujuan untuk mengetahui maksud pembawa lafadz, walaupun sebenarnya mereka mengetahui maksud sebenarnya dari Sang Mutakallim. Jika setiap pentakwilan tidak bertujuan untuk menjelaskan makna yang dimaksud dari pembawa lafadz maka menurut Ibn Taimiyyah mereka telah melakukan kebohongan dengan menutupi makna asalnya, karena itulah menurutnya sebagian besar kaum filosof tidak secara tegas menyatakan takwilannya, akan tetapi kebanyakan mereka mengatakan: “ ini boleh dimaksudkan begini…” dan sebagainya yang tujuannya untuk menunjukkan adanya kemungkinan-kemungkinan dalam suatu lafadz. Secara global menurutnya, ini adalah metode kebanyakan ahli kalam, seperti: Mu’tazilah, Kullabiyah, Salimiyah, Karramiyah dan Syi’ah.
E Metode Pembodohan
Inilah yang menurut Ibn Taimiyyah sebagai ahli kesesatan dan kebodohan, dimana mereka berpedoman bahwa para Nabi dan Rasul serta seluruh pengikutnya adalah orang-orang bodoh lagi sesat, yang tidak mengetahui apa yang diinginkan oleh Allah SWT dari apa yang disifati-Nya untuk diri-Nya sendiri yang tertuang dalam ayat-ayat-Nya. Adapun sebagian lain dari kelompok ini mengatakan bahwa kandungan dari ayat-ayat Allah SWT sebenarnya bertentangan dari apa yang tampak dari lahiriyah teks, dan tidak ada satupun dari para Nabi, Rasul, Malaikat, Sahabat dan Ulama yang mengetahui apa yang diinginkan oleh Allah seperti halnya mereka tidak mengetahui kapan datangnya hari kiamat.
Antara Ibn Taimiyyah dan Al-Ghazali
Berbeda dengan Ibn Taimiyyah, Al-Ghazali mempelajari dan mendalami filsafat adalah untuk menyingkap kebenaran-kebenaran yang mungkin akan ditemukan didalamnya, yang mana dalam hal ini ia berpedoman, bahwa keraguan adalah sarana untuk sampai pada keyakinan. Setelah mendalami filsafat ia mendapatkan kesalahan-kesalahan yang banyak dilakukan oleh para filosof, maka kemudian ia mencoba untuk keluar dari filsafat dan kembali kepada agama serta menenggelamkan dirinya dalam dunia kesufian untuk selanjutnya menggunakan pengetahuannya tentang filsafat untuk menyingkap kesesatan-kesesatan para filosof dalam karyanya “Tahâfut Al-Falâsifah”. Akan tetapi pada kenyataannya Al-Ghazali tidak bisa benar-benar lepas dari filsafat, dimana dalam jiwanya masih tersisa pengaruh filsafat, karena ketika ia memutuskan untuk meninggalkan filsafat, pikirannya sudah terbentuk kedalam pola pemikiran filsafat, bahkan kemudian ia mengambil salah satu cabang filsafat sebagai bahan kajian utamanya, yaitu ilmu mantiq yang menurutnya merupakan salah satu unsur dasar dalam mempelajari Ushul Fiqh, ia meyakini bahwa tidak mungkin memahami suatu keilmuan secara sempurna kecuali dengan ilmu mantiq.

Kritik Ibn Taimiyyah terhadap Al-Ghazali tentang kejadian jisim dan alam
Ketika Al-Ghazali menjelaskan tentang kesalahan kaum filosof tentang pengingkaran Wujud Yang Pertama sebagai jisim, dikarenakan mereka mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang kadangkala mengharuskan penggabungan antara dua hal yang bertentangan, atau kadangkala membuang keduanya, maka disini Ibn Taimiyyah mengkritik dalil-dalil yang digunakan Al-Ghazali dan pengikutnya yang hanya memasukkan sedikit saja dalil-dalil Qur’an dalam penjelasannya, ia menganggap Al-Ghazali dan pengikutnya seolah-olah tidak mengetahui atau mengabaikan dalil-dalil Qur’an yang dianggapnya lebih cocok untuk diterapkan. Sebagaimana dalam masalah kejadian alam dimana Al-Ghazali dan pengikutnya hanya memfokuskan kritikannya pada dua ungkapan kaum filosof:
1. Ungkapan tentang hal lebih dulunya alam (Qidam Al-‘Alam), dimana menurut para filosof apabila hal ini muncul dari adanya sebab yang mewajibkannya, maka akibat harus bergandengan dengan sebabnya dalam hal kekekalan dan keabadiannya.
2. Ungkapan bahwa perkara yang dikerjakan munculnya dibelakang penciptanya, dan bahwa pencipta tidak boleh selalu bersabda dan berbuat apa saja sesuai dengan keinginannya.
Kemudian Ibn Taimiyyah membeberkan bahwa dalam pandangannya Al-Ghazali dan pengikutnya mengabaikan ungkapan yang benar yang telah disepakati oleh ulama salaf, bahwa akibat datangnya selalu mengiringi Sang Maha Penyebab, dimana apabila ia berkehendak mencipta sesuatu, maka sesuatu itu akan muncul mengiringi penciptaan itu, sebagaimana sabda-Nya: إنما أمره إذا أراد شيئا أن يقول له كن فيكون “Sesungguhnya perintahnya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya ‘jadilah’ maka terjadilah ia” Dan inilah yang menurut Ibn Taimiyyah bisa dicerna oleh akal, yang menurutnya hanya boleh menerima hal-hal yang sederhana dan pasti (badihi), sebagaimana jatuhnya talak beriringan dengan pentalakan dan datangnya kebebasan beriringan dengan pembebasan. Maka yang Allah SWT inginkan akan terwujud dan yang tidak ia kehendaki tak akan pernah ada. Sudut pandang lain Ibn Taimiyyah terhadap filsafat
Kita semua hampir sepakat bahwa Ibn Taimiyyah merupakan sosok ulama yang menentang filsafat dengan keras, juga terhadap segala pemikiran keagamaan yang dibumbui oleh campur tangan akal. Akan tetapi kalau kita menelusuri lebih jauh sosok ini, kita akan menemukan warna yang berbeda dalam pendapatnya, warna yang menurut penulis menunjukkan kapasitas kaulamaannya secara murni tanpa dipengaruhi oleh gejala politik dan sosio-kultural yang berkecamuk pada zamannya, hal ini terungkap ketika ia menjelaskan tentang kemungkinan masuknya akal pada kehidupan agama dalam menjelaskan makna ayat-ayat Allah SWT, dengan batasan tidak untuk mengurai Dzat Allah SWT. Coba kita simak ungkapannya berikut ini:
“Adapun pengetahuan tentang makna ayat-ayat yang disampaikan Allah SWT selagi tidak dalam lingkup ketuhanan-Nya, maka pemikiran dan perkiraan bisa masuk kedalamnya, sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur’an. Karena itulah, banyak dari ahli ibadah dan kaum sufi yang menganjurkan untuk melanggengkan dzikir dan menjadikannya sebagai pintu untuk sampai kepada kebenaran, hal ini akan lebih bagus apabila digabungkan dengan bertadabbur atas kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan banyak juga dari para pemikir dan ahli kalam yang menganjurkan untuk selalu berpikir dan merenung sebagai jalan untuk mengetahui kebenaran. Kedua metode ini mempunyai sisi kebenaran masing-masing, akan tetapi masih membutuhkan kebenaran yang terdapat pada yang lainnya, dan keduanya harus dibersihkan dari kesesatan-kesesatan yang mungkin masuk dalam keduanya dengan cara mengikuti apa yang telah disampaikan oleh Allah SWT dan para Rasul-Nya.”
Dalam lembaran lainnya Ibn Taimiyyah kembali membuktikan kapasitasnya sebagai seorang mujaddid dengan membagi ilmu dalam dua golongan:
1. Ilmu yang didapat dari akal. Seperti matematika, kedokteran, perdagangan dan sebagainya, yang selanjutnya ia mengatakan bahwa ilmu filsafat yang berupa mantiq, ilmu alam dan astronomi yang berasal dari India dan Yunani beserta ilmu-ilmu lain dari Romawi dan Persia, ketika masuk dalam dunia Islam, orang-orang Islam mengoreksi, memperbaiki dan menyempurnakannya dengan berbekal kekuatan akal dan kefasihan bahasanya. Maka menurutnya ilmu-ilmu ini dalam tangan kaum muslim menjadi lebih sempurna, lebih mencakup dan lebih gamblang, walaupun selanjutnya ia mengecualikan permainan akal dalam masalah agama, khususnya dalam masalah ketuhanan. 2. Ilmu yang dihasilkan dari petunjuk para Nabi dan Utusan.
Telaah Mantiq Ibn Taimiyyah
Ibn Taimiyyah mendapatkan pengetahuan tentang mantiq dengan mempelajari mantiq Aristoteles (322-384 SM) dimana sebagian besar ulama muslim berkiblat kepadanya, sebagaimana ia mempelajari filsafat, iapun mempelajari mantiq untuk mencari titik kelemahan dari ilmu ini, dan setelah ia merasa cukup ia pun mulai memberontak terhadap ilmu yang dianggapnya sebagai ilmu orang-orang murtad ini, ia menggerakkan masyarakat disekitarnya untuk menentang keberadaan ilmu ini dalam dunia Islam, dengan menjelaskan bahwa mantiq merupakan barang asing bagi ranah pemikiran Islam, dan untuk membuktikan kebenaran ajaran Islam tidak membutuhkan ilmu ini. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa mantiq sama sekali tidak dapat digunakan sebagai timbangan kebenaran sebagaimana selama ini didengungkan oleh kaum filosof, karena menurutnya mantiq hanyalah berisi khayalan dan angan-angan.
Tidak cukup sampai disini, ia mengungkapkan bahwa sebenarnya para fuqaha sebelum masa Al-Ghazali memandang mantiq dengan pandangan kebencian dan penuh waspada terhadapnya dengan tujuan untuk menjaga ilmu Islam. Al-Ghazali lah yang menurutnya sebagai orang pertama yang menyatakan keharusan mengambil mantiq untuk menyempurnakan ilmu-ilmu keislaman. Ia kemudian mengkutip ungkapan Ibn Sholah yang menuturkan kesesatan ilmu mantiq: “Mantiq adalah pengantar filsafat, dan pengantar kesesatan adalah sesat, dan bersungguh-sungguh dalam mempelajarinya bukanlah perkara yang diperbolehkan oleh Pembuat Syari’at, dan tidak ada satupun dari para Sahabat, Tabi’in, dan Imam Mujtahid yang memperbolehkanya, sebagaimana pula para Ulama Salaf dan pengikutnya”
Selanjutnya Ibn Taimiyyah mengkritik pengunaan istilah-istilah filsafat dan mantiq dalam khazanah keilmuan Islam: “ Sesungguhnya ini ( mantiq) merupakan suatu bentuk pengingkaran yang buruk dan model baru dari kebodohan. Dan pada dasarnya hukum syari’at tidak membutuhkan mantiq, apa yang disangka pakar mantiq tentang mantiq sebagai penentu dan burhan hanyalah gelembung-gelembung yang diberikan Allah SWT. kepada setiap jiwa yang sehat, lebih-lebih dalam penggunaannya sebagai teori ilmu-ilmu syari’at. Karena ilmu syari’at telah sempurna dan para ulama sudah mendalami kebenarannya dengan sedetail-detailnya sehingga tidak dibutuhkan lagi ilmu mantiq ataupun filsafat beserta para filosofnya. Dan barang siapa yang menganggap bahwa ia mendalami mantiq dan filsafat dengan harapan mendapatkan manfaat dari keduanya, maka sesungguhnya ia telah tertipu oleh syetan.”
Ibn Taimiyyah juga menyerang mantiq dari segi ketidakmanfaatan ilmu ini, ia mengungkapkan bahwa tidak ada gunanya bagi seseorang mempelajari ilmu ini, baik itu secara keilmuan maupun teori, dengan dalih tidak ditemukannya satupun dari penduduk bumi yang berhasil menciptakan suatu ilmu dan menjadi pemuka didalamnya dengan berbekal ilmu mantiq, baik ilmu agama maupun lainnya. Dokter, Arsitek, Penulis, Ahli Statistik dan lainnya menurutnya mendalami keilmuannya dan mengeluarkan produknya tanpa pertolongan mantiq, sebelum mantiq datang pun para ulama Islam telah berhasil menyusun ilmu-ilmu nahwu, arudh, dan fiqh beserta ushulnya.
Tidak cukup dengan ini, Ibn Taimiyyah meneruskan serangannya pada ide dasar keilmuan ini yang bersumber pada pembagian ilmu menjadi tashawwur(visualisasi) dan tashdiq(legalisasi) dimana jalan untuk mendapatkan tashawwur adalah dengan had (definisi) dan jalan untuk mendapatkan tashdiq adalah dengan qiyas(analogi), juga tentang kalam yang terbagi menjadi empat tingkatan: dua tingkatan salbiah (negatif) dan dua tingkatan mujabah (positif), semua pembagian ini dianggap Ibn Taimiyyah sebagai suatu betuk kebohongan dan kebodohan baik dalam penafian maupun penetapannya, maka selanjutnya ia mengingkari segala kebenaran yang diperoleh dengan sylogisme mantiq dan analogi mantiq.

Kesimpulan Dan Penutup
Dari berbagai uraian diatas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa watak dan ungkapan seseorang merupakan cerminan dari situasi politik dan sosio-kultural suatu masa, dimana semakin tinggi tingkat pressing suatu zaman terhadap apa yang dipangkunya, maka semakin kuat pula daya balik yang diakibatkannya, kondisi "masyarakat terpaksa" yang serba panik dicekam oleh ketakutan perang dan dibumbui oleh perpecahan intern sudah sewajarnya berdampak pada kejiwaan kumpulan masyarakat ini. Apalagi ditambah ruwetnya pertentangan antar pemikiran dan masuknya ilmu-ilmu dari peradaban lain. Maka yang agaknya menjadi fokus pertanyaan kita adalah:
"Tepatkah ungkapan-ungkapan atau fatwa-fatwa yang tumbuh dalam kondisi politik dan sosio-kultural semacam ini untuk diterapkan dalam kondisi yang menjadi latar belakang kita saat ini?". Sebuah pertanyaan dari penulis yang semoga bisa mengantarkan kita untuk terus mencari dan memahami berbagai kejadian histories, untuk kemudian kita bisa mengambil manfaat dari apa yang kita pahami, khususnya dari sosok Ibn Taimiyyah yang kita bahas saat ini. Akhirnya beribu ungkapan terimakasih saya persembahkan untuk Ayah dan Bunda yang selalu dan senantiasa mando'akan anaknya ini, dan tak lupa ungkapan rasa salut kepada segenap rekan-rekan Fismaba selalu berusaha untuk menambah wawasannya, permohonan maaf dari saya apabila dalam tulisan ini masih terdapat banyak kesalahan. Allah…terimakasih atas segala karunia-Mu, karena semuanya adalah milik-Mu, dari-Mu lah kami bisa memahami dan mengambil manfaat dalam segalanya

Selasa, 04 Desember 2012


PENDIDIKAN MELESTARIKAN NILAI BUDAYA DAN  AGAMA
Pendahuluan
Dalam era globalisasi, seluruh aspek kehidupan bangsa terguncang dahsyat hingga daya adaptif kita sebagai suatu bangsa dalam suatu sistem sangat terpengaruh oleh perubahan, perubahan yang sangat cepat. Dalam dunia pendidikan, proses akulturasi dan perubahan perilaku bangsa mau tidak mau kita terdorong menjadi masyarakat yang memasuki complex adaptive system.

Era reformasi dalam konteks nasional terasa getarannya seperti perubahan radikal, terasa pula ada penjungkirbalikan nilai-nilai yang telah kita miliki, menjadi porak poranda, dan hampir tercabut sampai ke akar-akarnya. Hal ini kita rasakan sejak tahun 1998, dan kita bertanya apakah ini demokrasi atau reformasi, kita bergumam bahwa ini bukan demokrasi, dan bukan reformasi.

Kita merasakan krisis multidimensional melanda kita, di bidang politik, ekonomi, hukum, nilai kesatuan dan keakraban bangsa menjadi longgar, nilai-nilai agama, budaya dan ideologi terasa kurang diperhatikan, terasa pula pembangunan material dan spiritual bangsa tersendat, discontinue, unlinier dan unpredictable.

Dalam keadaan seperti sekarang ini sering tampak perilaku masyarakat menjadi lebih korup bagi yang punya kesempatan, bagi rakyat awam dan rapuh tampak beringas dan mendemostrasikan sikap antisosial, antikemapanan, dan kontraproduktif serta goyah dalam keseimbangan rasio dan emosinya.

Bagi kita bangsa yang masih sadar, sabar dan tawakal perlu melaksanakan diagnosis terhadap sikap dan perilaku yang menyimpang dari norma dan moral yang kurang terkendali ini. Perlu dipola terapi yang tepat melalui senyum karakter bangsa dan pendekatan keakraban nasional, mengikuti ungkapan seorang negarawan Amerika Serikat (Edward Kennedy) “ We are one nation in a sorrow”. Mari dalam rasa keprihatinan nasional sekarang ini kita bersatu padu agar derita dari segala bencana yang menimpa bangsa Indonesia baik fisik mau pun mental terutama dalam kesulitan himpitan ekonomi.

Terapi Mental Bangsa Dengan Jiwa Optimis
Langkah dan upaya penyembuhan dari penyimpangan perilaku fisik dan mental psikologis bangsa ini kita mulai dengan pendekatan agama, pendidikan dan kesejahteraan material dan spiritual. Yang utama memerlukan perhatian adalah membangkitkan kesadaran jiwa untuk menggairahkan peran hati nurani kita sebagai mahluk Tuhan, sebagai pribadi dan sebagai bangsa Indonesia. Kemudian perbaiki manajemen pendidikan nasional, semua harus sepakat mau dibawa kemana bangsa ini dengan pendidikan, semua berhemat dengan biaya pendidikan. Semua harus jadi pendidik, jadi guru dan sekaligus jadi murid. Inilah revolusi pembelajaran yang inovatif yang dapat mendorong anak didik untuk belajar yang menyenangkan aktif dan produktif.

Dengan demikian diperlukan paradigma baru dalam manajemen pendidikan, mengembangkan interaksi edukatif antara keluarga, sekolah dan masyarakat agar terbina proses pembinaan pendidikan bagi anak didik dalam tanggung jawab bersama. Kesan nilai edukatif pada jiwa dan intelek anak didik harus yang menjadi kebutuhan dalam menata cita-cita kehidupan yang bermanfaat lahir batin, karena mereka memiliki kesan nilai dan moral kehidupan yang disebut “The Golden Rules” (Lawrence Kohlberg, 1976).

Paradigma pendidikan masa sekarang yang sangat kita butuhkan adalah keseimbangan antara pembinaan intelek, emosi dan spirit. Kalau seluruh bangsa berkehendak untuk mengembalikan suasana persatuan dan kesatuan bangsa yang kondusif dan patriotik, maka sangatlah urgen untuk menata kembali politik pendidikan nasional. Tingkatkan dan kembangkan kembali pendidikan politik bangsa yang patriotis, agamis, ideologis, dan berjiwa optimis.

Sebagai sumbangan pemikiran bagi pelaksanaan paradigma tersebut, paper ini ingin merekomendasikan untuk mengembangkan jiwa patriotisme, kesadaran berbangsa dan negara dengan:
  1. Pendidikan Nilai (agama, ideologi, dan budaya) Bangsa,
  2. Pendidikan Karakter, dan
  3. Pendidikan Politik Bagi Generasi Masa Depan Bangsa.
Pelaksanaannya dalam program pembelajaran, dipercayakan kepada sekolah (Kepala Sekolah dan Guru) untuk mencoba setiap mata pelajaran berbasis karakter kebangsaan.

Mengembangkan pendidikan berdasarkan karakter (character base education) dengan menerapkan ke dalam setiap pelajaran yang ada di samping mata pelajaran khusus untuk mendidik karakter, seperti: pelajaran Agama, Sejarah, Moral Pancasila dan Budaya Bangsa. Nilai-Nilai yang diajarkan dalam Pendidikan Karakter Lickona (1992) menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar siswa didik mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan.

Moral Knowing. Terdapat enam hal yang menjadi tujuan dari diajarkannya moral knowing, yaitu:
  1. moral awareness,
  2. knowing moral values,
  3. perspective taking,
  4. moral reasoning,
  5. decision making, dan
  6. self knowledge.

Moral feeling. Terdapat enam hal yang merupakan aspek dari emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia yang berkarakter, yakni:
  1. conscience,
  2. self- esteem,
  3. emphaty,
  4. loving the good,
  5. self-control, dan
  6. humility.

Moral Action. Perbuatan/tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter, yaitu: terdapat enam hal yang menjadi tujuan dari diajarkannya moral knowing, yaitu:
  1. kompetensi (competence),
  2. keinginan (will),
  3. kebiasaan (habit).

Untuk itu, dalam deklarasi Aspen dihasilkan enam nilai etik utama (core ethical values) yang disepakati untuk diajarkan dalam sistem pendidikan karakter di Amerika, yang meliputi:
  1. dapat dipercaya (trustworthy) meliputi sifat jujur (honesty) dan integritas (integrity),
  2. memperlakukan orang lain dengan hormat (treats people with respect),
  3. bertanggung jawab (responsible),
  4. adil (fair), 
  5. kasih sayang (caring), dan
  6. warga negara yang baik (good citizen).

Tentang pendidikan karakter ini pun, dengan kepiawaian guru dapat dijadikan rujukan untuk bahan pengayaan dalam proses pembelajaran setiap mata pelajaran dan perilaku serta keteladanan orang dewasa, karena pendidikan karakter lebih mendalam tentang pendidikan moral.

Latar Belakang Sejarah Kebangkitan Nasional
Sejarah manusia adalah sejarah konflik dan perang, karena sejarah perang adalah setua sejarah manusia. Berbicara tentang perdamaian adalah berbicara tentang perang, dalam arti perdamaian adalah menunda perang, sinonim dengan istirahat sebelum manusia mulai berperang lagi. Oleh sebab itu, seolah-olah yang dianggap normal dalam kehidupan manusia adalah berperang. Hal ini pun terjadi di Indonesia antara tahun 1900-1942.

Pernyataan di atas didukung oleh data yang berasal dari buku
 Wars of the World (1940) yang menampilkan data bahwa antara tahun 1496 SM sampai tahun 1861, suatu kurun waktu selama 3.500 tahun terdapat 227 tahun damai dan 3.130 tahun perang. Dengan kata lain, untuk setiap tahun damai ada 13 tahun perang.

Sejak tahun 1861 sampai sekarang, dunia mengalami lagi ratusan dan bahkan ribuan perang dan bentuk-bentuk kekerasan bersenjata lainnya. Di antara yang terpenting adalah peperangan karena penjajahan Barat terhadap wilayah-wilayah koloninya, PD I, PD II, Perang Arab-Israel, Perang Korea, Perang Vietnam, Perang Teluk, dan lain-lain.

Melihat realitas hubungan internasional di atas, dapat dikatakan bahwa perang dan damai adalah ibarat “dua sisi dari satu keping mata uang” yang sama. Keduanya adalah konsep yang menyatu dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Hal ini diperkuat oleh adagium “
Civic Pacem Para Bellum” (Kalau mengeksploitasi manusia dan alam yang ada di dalamnya). Atau dengan kata lain, praktek perang semacam itu dinamakan dengan “kolonialisme”. 

Pengaruh pergolakan dunia menjelang Perang Dunia I dan II langkah pertama menuju kebangkitan nasional yaitu tiga dasawarsa pertama abad XX bukan hanya menjadi saksi penentuan wilayah Indonesia yang baru dan suatu pernyataan kebijakan penjajahan yang baru. Masalah-masalah dalam masyarakat Indonesia juga mengalami perubahan yang begitu besar sehingga dalam masalah-masalah politik, budaya, dan agama rakyat Indonesia menempuh jalan baru. Perubahan yang cepat terjadi di semua wilayah yang baru saja ditaklukkan oleh Belanda. Akan tetapi, dalam hal gerakan-gerakan antipenjajahan dan pembaharuan yang mula-mula muncul pada masa ini, Jawa dan daerah Minangkabau di Sumatera menarik perhatian yang khusus. Perubahan-perubahan yang terjadi di sana sedemikian rupa sehingga sejarah Indonesia modern memasuki zaman baru dan memperoleh kosa kata baru. Alasan-alasan yang mendorong Jawa dan Minangkabau menjadi pelopor dalam perubahan yang mendadak ini cukup jelas. Tingkatan kekacauan dan perubahan sosial di Jawa telah dijelaskan di dalam bab-bab terdahulu. Minangkabau telah mengalami pembaharuan besar-besaran dalam agama Islam yang pertama di Indonesia di bawah kaum Padri, telah mengalami perubahan-perubahan yang besar sejak dipaksakannya kekuasaan Belanda, dan memiliki tradisi untuk berhubungan secara aktif dengan dunia luar yang telah membukanya bagi ide-ide baru. Ketika raja-raja Bali dan kaum ulama Aceh masih berjuang untuk mempertahankan tatanan yang lama dari upaya penaklukan penjajah, maka orang-orang Minangkabau dan rakyat Jawa meletakkan dasar-dasar bagi suatu tatanan baru.
 

Kunci perkembangan pada masa ini adalah munculnya ide-ide baru mengenai organisasi dan dikenalnya definisi-definisi baru dan lebih canggih tentang identitas. Ide baru tentang organisasi meliputi bentuk-bentuk kepemimpinan yang baru, sedangkan definisi yang baru dan lebih canggih mengenai identitas meliputi analisis yang lebih mendalam tentang lingkungan agama, sosial, politik, dan ekonomi. Pada tahun 1927 telah terbentuk suatu jenis kepemimpinan Indonesia yang baru dan suatu kesadaran diri yang baru, tetapi dengan pengorbanan yang sangat besar. Para pemimpin yang baru terlibat dalam pertentangan yang sengit satu sama lain, sedangkan kesadaran diri yang semakin besar telah memecah belah kepemimpinan ini lewat garis-garis agama dan ideologi. Pihak Belanda mulai menjalankan suatu tingkat penindasan baru sebagai jawaban terhadap perkembangan-perkembangan tersebut. Periode ini tidak menunjukkan pemecahan masalah, tetapi merubah pandangan kepemimpinan Indonesia itu mengenai diri sendiri dan masa depannya.
 

Dr. Wahidin Soedirohoesodo (1857-1917) adalah pembangkit semangat organisasi yang pertama itu. Sebagai seorang lulusan sekolah ‘Dokter Jawa’ di Weltvreden (yang sesudah tahun 1900 dinamakan STOVIA), dia bekerja sebagai dokter pemerintah di Yogyakarta sampai tahun 1899. Pada tahun 1901 dia menjadi redaktur majalah Retnadhoemilah (‘Ratna yang berkilauan’) yang dicetak dalam bahasa Jawa dan Melayu untuk kalangan pembaca priyayi dan mencerminkan perhatian priyayi terhadap masalah-masalah dan status mereka. Selain seorang yang berpendidikan Barat Wahidin adalah seorang pemain musik Jawa klasik (gamelan) dan wayang yang berbakat. Dia memandang bahwa kebudayaan Jawa dilandasi oleh ilham Hindu-Budha, rupanya bependapat bahwa sebagian penyebab kemerosotan masyarakat Jawa adalah kedatangan agama Islam dan berusaha memperbaiki masyarakat Jawa melalui pendidikan Belanda. 

Pada tahun 1907 Wahidin berkunjung ke STOVIA dan di sana, di salah satu lembaga terpenting yang menghasilkan priyayi rendah Jawa, dia melihat adanya tanggapan yang bersemangat dari murid-murid sekolah tersebut. Diambil keputusan untuk membentuk suatu organisasi pelajar guna memajukan kepentingan-kepentingan priyayi rendah dan pada bulan Mei 1908 diselenggarakan suatu pertemuan yang melahirkan Budi Utomo. Nama Jawa ini (yang seharusnya dieja
Budi Utama) diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh organisasi tersebut sebagai het schoone striven (ikhtiar yang indah), tetapi menurut konotasi-konotasi bahasa Jawa yang beraneka ragam nama itu juga mengandung arti cendekiawan, watak, atau kebudayaan yang mulia.
 

Budi Utomo pada dasarnya tetap merupakan suatu organisasi priyayi Jawa. Organisasi ini secara resmi menetapkan bahwa bidang perhatiannya meliputi penduduk Jawa dan Madura; dengan demikian, mencerminkan kesadaran administrasi kedua pulau itu dan mencakup masyarakat Sunda dan Madura yang kebudayaannya mempunyai kaitan erat dengan Jawa. Bukan bahasa Jawa melainkan bahasa Melayu yang dipilih sebagai bahasa resmi Budi Utomo. Namun demikian, kalangan priyayi Jawa dan (sampai tingkat yang jauh lebih kecil) Sunda adalah yang menjadi inti dukungan Budi Utomo. Rasa keunggulan budaya orang Jawa cukup sering muncul ke permukaan; bahkan di Bandung ada cabang-cabang tersendiri untuk anggota-anggota orang-orang Jawa dan Sunda. Budi Utomo tidak pernah memperoleh landasan rakyat yang nyata di antara kelas-kelas bawah dan mencapai jumlah keanggotaan tertinggi, yaitu hanya 10.000 orang, pada akhir tahun 1909. Organisasi ini pada dasarnya juga merupakan suatu lembaga yang mengutamakan kebudayaan dan pendidikan; seperti yang akan terlihat di bawah ini, organisasi tersebut jarang memainkan peran politik yang aktif.

Pada bulan Oktober 1908 Budi Utomo menyelenggarakan kongresnya yang pertama di Yogyakarta. Pada saat itu Wahidin sudah hanya menjadi tokoh bapak saja dan bermunculan suara-suara baru untuk mengatur organisasi tersebut. Suatu kelompok minoritas dipimpin oleh Tjipto Mangunkusumo (1885-1943) yang juga seorang dokter dan yang sifatnya radikal. Dia ingin agar Budi Utomo menjadi partai politik yang berjuang untuk mengangkat rakyat pada umumnya daripada hanya golongan priyayi, dan kegiatan-kegiatannya lebih tersebar di seluruh Indonesia daripada terbatas di Jawa dan Madura saja. Tjipto juga tidak mengagumi kebudayaan Jawa sebagai dasar bagi peremajaan kembali. Dr. Radjiman Wediodiningrat (1879-1951), seorang ‘Dokter Jawa’ lain, mengemukakan ide-idenya pula. Dia dipengaruhi kebudayaan Jawa, dialektika G.W.F. Hegel, subyektivisme I. Kant, dan anti rasionalisme H. Bergson, dan sudah menganut doktrin-doktrin mistik Teosofi sebagai perpaduan Timur dan Barat. Teosofi adalah salah satu di antara gerakan-gerakan yang menyatukan elite Jawa, orang-orang Indo-Eropa, dan orang-orang Belanda pada masa itu, dan sangat berpengaruh di kalangan banyak anggota Budi Utomo. Akan tetapi, baik Tjipto maupun Rajiman tidak berhasil mendapatkan kemenangan. Tjipto tampaknya merupakan seorang radikal yang berbahaya dan Radjiman rupanya seorang reaksioner yang kaku. Dipilih suatu dewan pimpinan yang didominasi oleh para pejabat generasi tua yang mendukung pendidikan yang semakin luas bagi kaum priyayi dan mendorong kegiatan pengusaha Jawa. Tjipto terpilih sebagai anggota dewan, tetapi mengundurkan diri pada tahun 1909 dan akhirnya bergabung dengan Indische Partij yang radikal.
 

Gubernur Jenderal van Heutsz menyambut baik Budi Utomo sebagai tanda keberhasilan politik Etis. Memang itulah yang dikehendakinya; suatu organisasi pribumi yang progresif-moderat yang dikendalikan oleh para pejabat yang maju. Pejabat-pejabat Belanda lainnya mencurigai Budi Utomo atau semata-mata menganggapnya sebagai gangguan yang potensial. Akan tetapi, pada bulan Desember 1909 organisasi tersebut dinyatakan sebagai organisasi yang sah. Adanya sambutan yang hangat dari Batavia menyebabkan banyak orang Indonesia yang merasa tidak puas dengan pemerintah untuk mencurigai Budi Utomo itu. Sepanjang sejarahnya (organisasi ini secara resmi dibubarkan pada tahun 1935) sebenarnya Budi Utomo seringkali tampak sebagai partai pemerintah yang seakan-akan resmi (dikutip dari M.C. Ricklefs, 1989: 228-251).

Sejak itulah, tepatnya tanggal 20 Mei 1908 kedewasaan politik bangsa Indonesia yang ditopang oleh rasa ingin merdeka mulai tampak dengan segala cara, gaya dan asas, serta sifat organisasi. Dari mulai asas kepriyayian yang intelek “Budi Oetomo”. Selanjutnya muncul organisasi-organisasi politik, sosial, keagamaan, pendidikan, dan kemasyarakatan yang semuanya merupakan dinamika ‘kebangkitan nasional’ sebagai bentuk aneka perlawanan kepada penjajah hingga menembus tahun 1920-an, 1930-an, dan 1940-an hingga tercapainya kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.
 

Pendidikan dan Pendidikan Politik
Pendidikan 
Pendidikan sendiri menurut Lengeveld adalah membimbing anak didik dari tingkat belum dewasa menuju ke kedewasaan. Berarti kriteria keberhasilan pendidikan adalah kedewasaan.

Ki Hajar Dewantara, seorang Bapak Taman Siswa, menganggap pendidikan sebagai “daya upaya untuk mewujudkan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter, pikiran (intelek)) dan tubuh anak untuk memajukan kehidupan anak didik selaras dengan dunianya” (Wasty Soemanto Hendayat Soetopo, 1982:3).
 

Konsep Model Pendidikan di Indonesia
Sejak berkembangnya kebudayaan manusia Indonesia, konsep pendidikan anak pada masa prenatal mau pun pos-natal melalui pendidikan informal/keluarga telah terpola secara kultural. Apalagi setelah
 Civilized Human Being di Indonesia itu menganut agama dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sampai saat ini “benang emas” pengaruh keagamaan tetap dominan baik dalam konsep maupun dalam tujuan pendidikan. Bahkan sejak lama sebelum Indonesia merdeka lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia telah sanggup melaksanakan pendidikan formal dengan tujuan dan konsep serta sistem pendidikan yang matang. Konsep pendidikan formal ala Indonesia, terutama bagi pendidikan umum mulai berkembang sejak lahirnya pergerakan nasional yang dipelopori oleh “Boedi Oetomo”. Hal ini bangkit karena bangsa Indonesia yakin bahwa untuk mencapai kemerdekaan, melenyapkan penjajahan harus dilawan dengan kecerdikan diplomasi bukan hanya dengan mengangkat senjata. Kecerdikan dan kearifan itu hanya bisa dimiliki melalui pendidikan intelektual dan moral. 

Konsep pendidikan yang menonjol baik yang dapat bertahan sampai sekarang mau pun yang hanya tinggal pengaruhnya dan mewarnai/diserap oleh konsep pendidikan nasional masa kini, antara lain:
a) Pendidikan Muhammadiyah
Konsep pendidikan yang dikembangkan oleh organisasi keagamaan Muhammadiyah ini membuka tabir masyarakat terisolasi akibat penjajahan adalah kehidupan beragama secara terbuka, memasyarakat dan bersatu, kehidupan sosial, kehidupan politik, dan perhatian terhadap kepentingan nasional. Dengan singkat konsep pendidikan ini mendasarkan diri kepada asas sosial edukatif, religius, dan nasional. (Pemuka : K.H.A. Dahlan).
 

b) Pendidikan Taman Siswa
Konsep pendidikan Taman Siswa yang secara operasional dimulai pada tanggal 3 Juli 1922 lebih bersifat positif nasional, pedagogis, serta kulturil. Tujuan awal dari lembaga pendidikan ini adalah jelas membawa bangsa Indonesia mencapai tujuan politik yaitu kemerdekaan bangsa Indonesia. Asas pendidikan Taman Siswa ditekankan pada “kodrat alam”, yang berarti bahwa hak anak akan kebebasannya dinyatakan tidak tanpa batas, termasuk batas lingkungan kebudayaan. Pertumbuhan anak didik menurut kodratnya berarti bertumbuh dan berkembang menurut bakat dan pembawaannya. Konsep pendidikan ini mengembangkan asas pendidikan “Pancadarma Taman Siswa” yang meliputi: (i) asas kemerdekaan, (ii) asas kodrat alam, (iii) asas kebudayaan, (iv) asas kebangsaan, dan (v) asas kemanusiaan (Pemuka: Ki Hajar Dewantara).
 

c) Pendidikan INS Kayutanam
Konsep pendidikan yang dipolakan oleh
 Indische Nationale SchoolKayutanam merupakan konsep pendidikan yang lebih memperhatikan pemupukan bakat anak. Konsep ini terpengaruh oleh cita-cita John Dewey yang pragmatis dan Kerschensteiner dengan “Arbeitschule”-nya dengan didorong oleh keyakinan bahwa Tuhan tidak sia-sia menjadikan manusia dan alam lainnya, mesti semuanya ada gunanya. Bila tidak berguna pasti karena kita tidak dapat menggunakannya. Dasar pendidikan adalah “aktivitas” dengan tujuan “melahirkan dan memupuk semangat bekerja dan percaya kepada diri sendiri (self help).” Akan tetapi, sistem ini hanya berkembang sebagian pada konsep PLS sekarang (Pemuka: Muhammad Sjafei). 

d) Pendidikan Nasional setelah Indonesia Merdeka
Bila kita kaji lebih teliti, maka konsep pendidikan nasional Indonesia yang kita kenal sekarang ini merupakan hasil ramuan halus dari nilai-nilai budaya bangsa dengan ragi penyegar pengaruh teori-teori dan konsep pendidikan yang diresepsi secara teliti dan hati-hati dari unsur-unsur pendidikan Barat yang sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa tersebut. Kemudian, apabila kita kaji pula azas dan tujuan dari konsep pendidikan nasional Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga sekarang mengandung jalur konsistensi yang pada prinsipnya berasas Pancasila dan dijadikan upaya bagi menuju kesejahteraan bangsa.


Sampai saat ini, konsepsi pendidikan nasional ditinjau dari segi kebutuhan pembangunan bangsa adalah:
(1) Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat.
(2) Pendidikan bersifat semesta, artinya meliputi semua segi kehidupan manusia dan unsur kebudayaan: moral dan etika, logika, estetika, keterampilan, dan sebagainya. Menyeluruh artinya seluruh kegiatan pendidikan meliputi semua jenis dan jenjang pendidikan, di dalam dan di luar sekolah. Terpadu artinya seluruh usaha dan kegiatan pendidikan jelas kaitan fungsional antara jenjang dan jenis serta serasi dengan pembangunan nasional.
(3) Pendidikan adalah bagian dari kebudayaan masyarakat dan oleh karena itu harus menjadi alat pelestarian dan pembangunan kebudayaan dan sebagai alat untuk mencapai tujuan masyarakat.

Pendidikan Politik
Ada pun yang dimaksud dengan pendidikan politik yang dikemukakan oleh Alfian (1986:235) dalam bukunya Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, sebagai berikut: ”Pendidikan politik dapat diartikan sebagai usaha yang sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun”. 

Sedangkan yang dimaksud dengan pendidikan politik menurut Instruksi Presiden No. 12 tahun 1982 tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Politik Generasi muda adalah sebagai berikut: “Pendidikan politik merupakan rangkaian usaha untuk meningkatkan dan memantapkan kesadaran politik dan kenegaraan guna menunjang kelestarian Pancasila dan UUD 1945 sebagai budaya politik bangsa. Pendidikan politik juga harus merupakan bagian proses perubahan kehidupan politik bangsa Indonesia yang sedang dilakukan dewasa ini dalam rangka usaha menciptakan suatu sistem politik yang benar-benar demokratis, stabil, efektif, dan efisien”.

Dengan demikian pendidikan politik adalah proses penurunan nilai-nilai dan norma-norma dasar dari ideologi suatu negara yang dilakukan dengan sadar, terorganisir, dan berencana dan berlangsung kontinyu dari satu generasi kepada generasi berikutnya dalam rangka membangun watak bangsa (
national character building). 

Nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai Pancasila, tiada lain merupakan cerminan hati nurani dan sifat khas karakteristik bangsa, bukanlah nilai-nilai yang secara hakiki lahir pada saat kemerdekaan, melainkan telah tumbuh dan berkembang melalui proses sejarah yang panjang. Nilai ini berasal dari kodrat budaya dan menjadi milik seluruh rakyat. Hal ini tercermin dalam watak, kepribadian, sikap, dan tingkah laku bangsa Indonesia.

Pendidikan politik berfungsi untuk memberikan isi dan arah serta pengertian kepada proses penghayatan nilai-nilai yang sedang berlangsung. Ini berarti bahwa pendidikan politik menekankan kepada usaha pemahaman tentang nilai-nilai yang etis normatif, yaitu dengan menanamkan nilai-nilai dan norma-norma yang merupakan landasan dan motivasi bangsa Indonesia serta dasar untuk membina dan mengembangkan diri guna ikut serta berpartisipasi dalam kehidupan pembangunan bangsa dan negara.
 

Pemasyarakatan nilai-nilai pendidikan politik di Indonesia sebenarnya telah dilakukan jauh sebelum masa kemerdekaan melalui berbagai kegiatan organisasi dan gerakan politik, baik di dalam mau pun di luar negeri yang dilakukan oleh generasi muda Indonesia guna memperoleh hak politiknya yang dibelenggu oleh mekanisme penjajahan. 

Sejak tahun 1908, partai-partai politik dan organisasi massa lainnya tumbuh dengan pesatnya. Organisasi politik pertama yang disebut-sebut sebagai organisasi modern di Indonesia berdiri pada tahun 1908 yaitu Budi Utomo. Mula-mula lapangan geraknya adalah organisasi ini bergerak pula dalam bidang politik. Timbulnya angkatan 1908 ini, dalam sejarah Indonesia memiliki ciri khas, yaitu merintis perjuangan kemerdekaan Indonesia menggunakan organisasi.
 

Pada tahun 1912 muncullah Serikat Islam di bawah pimpinan H.O.S. Cokroaminoto, Indische Partij di bawah pimpinan Douwes Dekker, Soewardi Suryaningrat, dan Ciptomangunkusumo. Tahun 1927 lahir Partai Nasional Indonesia atau PNI yang dipimpin oleh Ir. Soekarno, tahun 1931 lahir Partai Indonesia yang dipimpin oleh Mr. Sartono, tahun 1931 lahir Partai Nasional Indonesia atau dikenal dengan PNI Baru yang dipimpin oleh Drs. Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir, tahun 1937 lahir Gerak Indonesia atau Gerindo yang dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin dan Mohammad Yamin.

Dalam periode pergerakan ini, muncul suatu angkatan yang berperan sebagai pematangan kesadaran politik rakyat, yaitu angkatan 1928. Sebutan itu didasarkan atas dicetuskannya Sumpah Pemuda oleh para pemuda yang berkonggres di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda merupakan tonggak penting dalam proses pematangan kesadaran kebangsaan menuju terwujudnya proklamasi kemerdekaan.

Memasuki masa sesudah proklamasi kemerdekaan, pemasyarakatan nilai-nilai politik berlangsung dan berkembang terus dengan tantangan perjuangan yang semakin berat dalam rangkaian melanjutkan usaha menyadarkan masyarakat akan kepentingan politik bangsa.
 

Pemasyarakatan nilai-nilai politik ini lebih diarahkan guna mengalihkan semangat perjuangan kemerdekaan kepada usaha-usaha pengisian kemerdekaan dan kemajuan kehidupan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
 

Asas Pendidikan Politik
Sebelum kita membahas asas-asas yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan politik, terlebih dahulu kita kaji landasan pokok pendidikan politik bagi generasi muda Indonesia.

Landasan pokok yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan politik bagi generasi muda adalah landasan yang pada prinsipnya telah mendasari kehidupan nasional bangsa Indonesia. Agak berbeda dengan landasan-landasan yang dipergunakan dalam bidang lainnya, pendidikan politik sesuai dengan ciri khasnya, memasukkan pula landasan kesejarahan.

Ada pun landasan pokok penyelenggaraan pendidikan politik bagi generasi muda menurut Inpres No. 12 Tahun 1982 adalah sebagai berikut:
a) Landasan ideologi adalah Pancasila.
b) Landasan konstitusional adalah UUD 1945.
c) Landasan historis adalah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan Agustus 1945.
 

Asas adalah prinsip-prinsip pokok yang harus diterapkan dan dipegang teguh dalam perencanaan dan pelaksanaan sesuatu/kegiatan. Jadi yang dimaksud dengan asas-asas pendidikan politik adalah prinsip-prinsip pokok yang harus diterapkan dan dipegang teguh dalam perencanaan dan pelaksanaan pendidikan politik. Asas-asas pokok yang dipergunakan dalam melaksanakan dan menyelenggarakan pendidikan politik pada prinsipnya didasarkan atas asas yang sesuai dengan keadaan serta sifat bangsa Indonesia. Ada pun asas-asas pelaksanaan pendidikan politik bagi generasi muda tersebut seperti tercantum dalam Inpres No. 12 Tahun 1982, adalah sebagai berikut:
a) Asas Umum
Pada dasarnya pelaksanaan pendidikan politik bagi generasi muda dilandaskan kepada asas-asas yang sesuai dengan keadaan serta sifat bangsa Indonesia, khususnya generasi muda, yang dipadukan dengan dinamika perkembangan kehidupan nasional dan kemajuan yang telah dicapai sehingga sasaran yang dikehendaki dengan pendidikan politik ini akan tercapai secara berdaya guna dan berhasil guna serta dimanfaatkan secara tepat guna oleh masyarakat dan diwujudkan dalam tingkat partisipasi yang sebesar-besarnya.
 

b) Asas Demokrasi
Penyampaian bahan pendidikan politik bagi generasi muda dilakukan melalui jalan mendidik, mengajak, menampung, serta menyalurkan gagasan yang berkembang. Ia harus berciri demokrasi budaya Pancasila atas dasar komunikasi timbal-balik yang penuh tanggung jawab dan musyawarah untuk mufakat dalam perbedaan pendapat yang dilakukan dengan sesadar-sadarnya sebagai bangsa.
 

c) Asas Keterpaduan
Pendidkan politik bagi generasi muda harus menunjang terbinanya persatuan dan kesatuan bangsa serta menjamin stabilitas serta kepemimpinan nasional. Dalam dinamikanya, pendidikan politik harus terpadu, selaras, serasi, dan seimbang dengan strategi nasional sehingga akan dapat tercapai suatu tata kehidupan nasional yang semakin maju dan bersatu. 

d) Asas Manfaat
Pendidikan politik bagi generasi muda diselenggarakan sedemikian rupa, baik dalam bahan mau pun caranya sehingga hasil yang dicapai dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh masyarakat. Ia harus dapat meningkatkan kesadaran hidup berbangsa dan bernegara, mau pun bangsa dan pengembangan pribadi. 

e) Asas Bertahap, Berjenjang, dan Berkelanjutan
Penyelenggaraan pendidikan politik bagi generasi muda dilakukan melalui penahanan secara berjenjang, baik dari segi pertumbuhan alamiah manusia dari usia bawah mau pun dari segi pertumbuhan kehidupan masyarakat melalui organisasi yang ada atau golongan pendidikan, mulai dari pimpinan sampai kepada yang lebih besar di bawahnya. Ia semata-mata harus didasarkan atas kemampuan obyektif manusia. Di samping itu, pendidikan politik harus dilaksanakan secara terus-menerus dan harmoni, sebagai suatu proses pematangan manusia Indonesia seutuhnya dan seluruh masyarakat Indonesia yang makin maju dan berkembang.
 

f) Asas Aman
 
Pendidikan politik bagi generasi muda menunjang kehidupan nasional dengan semakin tingginya kesadaran berbangsa dan bernegara dan terpeliharanya laju pembangunan nasional. Sebagai kondisi, ia harus dapat menciptakan ketahanan dan ketangguhan manusia Indonesia dan masyarakat secara keseluruhan terhadap setiap kendala dan tantangan yang dihadapi. Ia harus aman dari berbagai pengaruh negatif yang berasal dari dalam dan luar negeri.
 

Maksud dan Tujuan Pendidikan Politik Masa Kini
Menumbuhkan kembali semangat kebangsaan, cinta tanah air, kebanggaan berbangsa dan bernegara, menyegarkan kembali jiwa yang cinta damai dan cinta kemerdekaan. Menjunjung tinggi ideologi negara dan menghormati kepada pemerintah disertai tawakal kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sedangkan yang menjadi tujuan pendidikan politik bagi generasi muda sebagaimana tercantum dalam Inpres No. 12 tahun 1982 adalah sebagai berikut:
Tujuan pendidikan politik ini ialah menciptakan generasi muda Indonesia yang sadar akan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai salah satu usaha untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya yang perwujudannya akan tercermin dalam sejumlah ciri watak dan kepribadiannya sebagai berikut:
  1. Sadar akan hak dan kewajiban serta tanggung jawab terhadap kepentingan bangsa dan negara yang terutama diwujudkan melalui keteladanan.
  2.  Secara sadar taat pada hukum dan Undang-Undang Dasar.
  3.  Memiliki disiplin pribadi, sosial, dan nasional.
  4.  Berpandangan jauh ke depan serta memiliki tekad perjuangan untuk mencapai kehidupan yang lebih maju, yang didasarkan kepada kemampuan objektif bangsa.
  5.  Secara sadar mendukung sistem kehidupan nasional secara demokratis.
  6.  Aktif dan kreatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya dalam usaha.
  7.  Aktif menggalang persatuan dan kesatuan bangsa dengan kesadaran akan keanekaragaman bangsa.
  8.  Sadar akan perlunya pemeliharaan lingkungan hidup dan alam secara selaras, serasi, dan seimbang.
  9.  Mampu melaksanakan penilaian terhadap gagasan, nilai, serta ancaman yang bersumber dari luar Pancasila dan UUD 1945 atas dasar pola pikir atau penalaran logis mengenai Pancasila dan UUD 1945.
Hal ini berarti melalui kegiatan pendidikan politik diharapkan terbentuk warga negara yang berkepribadian utuh, berketerampilan, sekaligus juga berkesadaran yang tinggi sebagai warga negara yang baik, sadar akan hak dan kewajiban serta memiliki tanggung jawab yang dilandasi oleh nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Proses pencapaian tujuan pendidikan politik tersebut tidak dapat dilihat secara langsung namun memerlukan waktu yang cukup lama, hal ini disebabkan karena pendidikan politik berhubungan dengan aspek sikap dan perilaku seseorang.[]