Jumat, 07 Maret 2014

Semantik Bahasa


LAPORAN TUGAS KELOMPOK
SEMANTIK BAHASA INDONESIA pada RAGAM dan RELASI MAKNA


DISUSUN GUNA MEMENUHI TUGAS PERKULIAHAN
MATA KULIAH KOPETENSI DASAR BAHASA dan SASTRA INDONESIA II
DOSEN PENGAMPU: Kiswo, S.Pd, M.Pd




DISUSUN OLEH:
1.   M. Ja’far Sidiq            NIM: 40212098
2.   Subur Widadi              NIM: 40212117
3.   Deni Irawan                NIM: 40212125


KELAS/SEMESTER : PGSD 3 / 4


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
STKIP ISLAM BUMIAYU
2014




Kata Pengantar

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Semantik Bahasa Indonesia pada Ragam dan Relasi Makna” ini dengan lancar. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memnuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Konsep Dasar Bahasa dan Sastra Indonesia II.
Kami harap, dengan membaca makalah ini daapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita. Memang makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis mengharap kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.



Bumiayu,         Maret 2014


Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Kata  semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang berarti tanda atau lambang, yang merupakan bagian dari tiga tataran bahasa yang meliputi fonologi, tata bahasa (morfologi-sntaksis) dan semantik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia semantik yang berarti, ilmu tentang makna kata dan kalimat yang meliputi pengetahuan mengenai seluk-beluk dan pergeseran arti kata dan bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan atau struktur makna suatu wicara.
Pada makalah ini yang akan dibahas adalah Ragam Makna dan Relasi Makna dalam Semantik Bahasa Indonesia. Lalu apa yang dimaksud dengan makna? Apakah makna sama dengan arti? Apabila ada orang bertanya kepada Anda “Apa makna kata jenaka?” Anda akan menjawab, ”Jenaka adalah lucu.” Anda cukup menjawabnya dengan satu kata. Orang yang bertanya merasa puas karena pertanyaan sudah terjawab, dan Anda juga merasa puas karena dapat menjawab pertanyaan dengan benar. Kemudian Anda mendapat pertanyaan lain yang tidak dapat Anda jawab dengan satu kata, tetapi Anda harus menjawab dengan sebuah definisi. Misalnya, apa makna kata imun? “Imun adalah kebal terhadap suatu penyakit”. Anda kembali merasa puas karena telah dapat menjawab pertanyaan dengan benar, sesuai dengan yang ada dalam kamus. Apakah orang yang bertanya tersebut juga merasa puas dengan jawaban Anda? Belum tentu! Ternyata, bisa saja penanya belum cukup puas dengan jawaban yang diterimanya karena dia tidak tahu makna kata ‘kebal’.
Uraian di atas menyuratkan bahwa ternyata untuk menjelaskan makna kata tidak cukup dengan menggunakan kata lain, bahkan dengan batasan/definisi pun persoalannya tidak dapat selesai begitu saja. Sebuah benda dapat memiliki bermacam-macam nama dalam satu bahasa yang berbeda. Kita tidak dapat semaunya mengganti makna suatu kata. Orang tidak mungkin mengganti urutan bunyi bagi konsep-konsep yang ada tanpa persetujuan dari anggota masyarakat pemakai bahasa. Oleh sebab itu betapa pentingnya mempelajari segala Ragam Makna dan Relasi Makna dalam semantik Bahasa Indonesia agar menambah khasanak ilmu lingustik/bahasa yang kita pelajari.
B.   Rumusan Masalah
1.   Menjelaskan konsep makna;
2.   Mengidentifikasi relasi makna; dan
3.   Menggunakan kata yang tepat dalam berbahasa.
BAB II
PEMBAHASAN

A. RAGAM  MAKNA
Ada banyak ragam/jenis makna yang dikemukakan oleh para ahli lingustik ke semua pendapat itu tidak memberikan batasan yang sama karena dasar pembagiaannya menggunakan kacamata yang berbeda-beda. Misalnya,Leech (2003), menggunakan istilah tipe makna, membagi makna menjadi tujuh tipe, yaitu makna konseptual, konotatif, stilistik, fektif, refleksi, kolokatif, dan tematik. Djajasudarma (1999) mengutip dari beberapa ahli, antara lain Blomfield, Palmer, Verhaar, Kridalaksana, dan Ullman menjadi makan menjadi 12 jenis, yaitu makna sempit, luas, kognitif, konotatif, dan emotif, referensial, konstruktif, leksikal dan gramatikal, idesional, proposisi, pusat, piktorial, dan idiomatik.
Dalam artikel yang saya buat ini hanya menguraikan empat ragam makna berdasarkan dikotomi makna, yaitu makna leksikal dan makna gramatikal, makna denotatif dan makna konotatif, makna konseptual dan makna asosiatif, dan makna kata umum dan makna kata khusus (Chaer dan Muliastuti, 2003).
1.   Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Apa yang dimaksud makna laksikal? Untuk menjawab coba anda simak beberapa contoh berikut :
a. Nana makan biscuit Rika.
b.Bupati yang lama makan uang rakyat hingga ratusan juta rupiah.
c. Ayah menyuruh adik membeli amplop.
d.                  Pejabat baru itu sudah mulai menerima amplop dari para pengusaha.
e. Mobil butut itu sudah sudah sepuluh kali mogok.
f. Para buruh berdemo dengan cara mogok makan.
g.Bunga mawar itu sudah layu.
h.Rima gadis cantik itu menjadi bunga kampus.
Dari delapan contoh itu kata-kata yang dicetak miring pada kalimat (a) dan (b), (c) dan (d), (e) dan (f), (g) dan (h), mempunyai makna yang saling berbeda. Misalnya kata makan pada kalimat (a) diartikan sebagai memasukkan sesuatu ke dalam mulut, menguyahnya, lalu menelannya. Kata amplop dalam kalimat (c) bermakna sampul surat, sedangkan kata amplop pada kalimat (d) bermakna sebagai uang suap. Kata mogok, bermakna tidak mau berjalan (bekerja) dan kata bunga pasa kalimat (g) adalah jenis bunga, sedangkan kata bunga pada kalimat (h) bermakna mahasiswa tercantik. Berdasarkan penjelasan contoh tersebut, maka dapat dikatakan bahwa makna laksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya atau sesuai dengan hasil pengamatan pancaindra kita. Makna tersebut nyata dalam kehidupan kita sehari-hari.
Kini Anda tentunya dapat menentukan, mana kata yang bermakna leksikal dan mana yang bukan. Jadi, kata-kata bercetak miring pada kalimat (a),(c),(e) dan (g) bermakna leksikal.
Dalam semantic, makna leksikal dibedakan dengan makna gramatikal. Makna gramatikal adalah makna yang muncul karena proses gramtikal. Proses gramatikal meliputi afiksasi/pengimbuhan, reduplikasi/pengulangan, dan komposisi/pemajemukan.
Anda dapat menyimak contoh kaliatberikut:
i.     Adik berlari setelah mencubit lengan temannya.
j.     Mereka sudah menyelesaikan laporan penelitian.
k.   Asinan Bogor banyak disukai orang.
l.     Rumah di desa halamannya luas-luas.
m. Deni akan minta surat keterangan  dari Ketua RT.
n.   Mata kita silau apabila menatap langsung maatahari.
Setelah Anda sudah menyimak dengan baik, kata yang bercetak miring pada kalimat (i), (j) dan (k) merupakan contoh kata yang mengalami proses afikasi/pengimbuhan. Kalimat (l) terdapat kata luas-luas, merupakan proses reduplikasi/pengulangan, dan kalimat surat keterangan dalam kalimat (m) mengalami proses komposisi/pemajemukan. Kemudian, bagaimana dengan kalimat (n)? pada kalimat (n) sudah jelas bukan makna kata leksikal dan makna gramatikal.
2.   Makna Denotatif dan Makna Konotatif
sebuah kata mempunyai makna denitatif apabila kata tersebut memiliki nilai rasa positif atau menyenangkan. Sebaliknya, sebuah kata akan mempunyai makna konotatif apabila mempunyai nilai rasa negatif atau tidak menyenangkan. Dengan demikian jelas bukan bahwa nilai rasa tersebut kata dapat membedakan makna.
Untuk lebih jelasnya, dapat Anda perhatikan contoh berikut ini :
o.   Gadis cantik itu berbadan lanagsing.
p.   Siswa yang berkelompok itu sedang mendiskusikan presiden baru.
q.   Badanya kerempeng seperti kekurangan gizi.
r.     Germbolan mahasiswa itu memadati jalan utama.
Kalimat yang bermakna denotatif terdapat dalam kalimat (o) dan (p), sedangkan yang bermakna konotatif terdapat dalam kalimat (q) dan (r). kata langsing dan berkelompok mempunyai nilai rasa positif, sedangkan kata kerempeng dan gerombolan mempunyai rasa negatif.
3.   Makna konseptual dan Makna Asosiatif
Makna konseptual adalah makna kata yang sesuai dengan referennya atau makna yang bebas dari asosiasi apapun. Makna konseptual sebenarnya sama dengan makna denotatif dan makna leksikal. Sedangkan makna asosiasi adalah makna sebuah kata yang ada hubungannya dengan kata tersebut dengan keadaan di luar jebiasaan. Makna asosiasi sebenarnya sama dengan lambang-lambang yang digunakan oleh masyarakat tertentu. Perbedaan makna konseptual dengan makna asosiatif didasarkan pada ada atau tidaknya hubungan asosiasi makna sebuah kata dengan makna kata lain.
Misalnya, kata wanita atau perempuan oleh masyarakat dilambangkan sebagai makhluk yang lemah, kata merah  sebagai lambang keberanian, putih sebagai lambang kesucian. Dengan kata lain, makna asosiasi mempunyai hubungan dengan nilai-nilai moral maupun pandangan hidup masyarakat tertentu. Selain itu, makna asosiatif ini juga berhubungan dengan nilai rasa. Dengan demikian, makna asosiatif juga termasuk makna konotatif.
4.   Makna Kata umum dan Makna Kata Khusus
Makna kata umum adalah makna suatu kata yang berdifat umum, maksudnya makna tersebut digunakan secara umum. Makna kata bersifat umum baru jelas bila berada dalam konteksnya. Sedangkan makna kata khusus atau istilah adalah makna kata yang sifatnya khusus, maksudnya, hanya digunakan di kalangan ilmu tertentu. Makna khusus biasa disebut dengan istilah. Apabila kata umum lepas dari konteksnya, maka kata tersebut akan kabur. Sedangkan makna kata khusus sudah memiliki makna yang pasti dan tetap sehingga tanpa konteks pun kata khusus tetap jelas maknanya. Misalnya, kata kuping dalam pemakaian bahasa secara umum berarti indra pendengaran, yang meliputi bagian luar (daun telinga) dan bagian dalam. Dalam bahasa umum kata telinga berpadanan kata dengan kuping. Dalam istilah kedokteran, kata kuping dan telinga merupakan dua istilah yang jelas berbeda. Kuping berarti ‘daun telinga’ atau bagian luar telinga, sedangkan telinga berarti ‘bagian dalam telinga’. Dalam spesialisasi kedoteran kita kenal dengan adanya spesialis THT (telinga – hidung – tenggorokan). Sebagai ilustrasi, bila daun telinga Anda terluka dan perlu pengobatan, Anda cukup pergi kedokter umum, tetapi apabilayang terluka telinga bagian dalam, Anda harus pergi ke dokter spesialis THT.
Walaupun istilah atau kata khusus hanya digunakan dalam bidang ilmu tertentu, namun karena frekuensi pemekaiannya cukup tinggi, istilah tersebut dapat berubah menjadi kata umum. Misalnya, kata konsumen, deposito, transfer, imunisasi, akomodasi, dan lain-lain.

B.  RELASI MAKNA
Relasi makna atau hubungan makna adalah hubungan kemaknaan antara sebuah kata, frase, klausa atau kalimat dengan kata, frase, klausa atau kalimat lainnya. Hubungan tersebut berbentuk sinonim, antonym, homonym, homofon, homograf, polisemi, dan hiponim.
1.   Sinonim dan Antonim
a.   Sinonim
Kata sinonim berasal dari bahasaYunani Kuno onomo yang berarti ‘nama’ dan syn yang berarti ‘dengan’. Sinonim dapat berarti memiliki makna yang sama atau hampir sama yang sering, tetapi tidak selalu dapat saling menggantikan dalam kalimat (Yudi Cahyono, 1995:208). Sinonim juga lazim disebut dengan istilah padanan kata. Menurut Verhaar dalam Muliastuti (203: 2.2) senonim merupakan ungkapan (dapat berupa kata, frase atau kaliat) yang maknannya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lalin. Pengertian kesamaan makna tersebut tidak harus sama secara utuh. Sebuah kata yang digunakan dalam kalimat tertentu belum tentu cocok digunakan dalam kalimat lain. Misalnya, kata mati dan tewas.
1)   Ayam piraannya mati semua.
2)   Keluarganya tewas dalam musibah tanah longsor.
Kata mati dalam kalimat (1) tidak cocok digunakan dalam kalimat (2), begitu sebaliknya kata tewas tidak cocok digunakan dalam dalimat (1). Kata mati  digunakan untuk mengacu pada makhluk yang sudah tidak bernyawa, seperti: manusia, binatang, dan tanaman. Sedangkan kata tewas digunakan untuk mengacu pada makna ‘tak bernyawa’ yang terjadi dalam peperangan, bencana, dan kecelakaan. Contoh lain adalah kata berkaca dan bercermin dalam kalimat:
3)   Mobil barunya berkaca gelap.
4)   Wina sedang bercermin  di kamarnya.
Kata berkaca dalam kalimat (3) dapat dan cocok digunakan dalam kalimat (4), tetapi kata bercermin  tidak cocok digunakan dalam kalimat (3).
Ketidakcocokan penggunaaan kata dalam kalimat yang lain sesuai dengan prinsip dalam semantik yang bunyinya bahwa apabila bentuk berbeda maka maknanya pun akan berbeda. Selain karena perbedaan bentuk, ada beberapa faktor yang menyebabkan kata-kata yang bersinonim tidak selalu dapat menggantikan, yaitu:
1)   Perbedaan waktu
Contoh: kata hulubalang bersinonim dengan komandan.
Kata hulubalang hanya cocok digunakan dalam situasi masa lampau, sedangkan kata komandan cocok digunakan dalam situasi saat ini.
2)   Perbedaan daerah atau tempat
Contoh: kata lu bersinonim dengan kata kamu.
Kata lu hanya digunakan di daerah Betawi /Jakarta, sedangkan kata kamu  dapat digunakan secara umum.
3)   Sosial
Contoh: kata aku bersinonim dengan kata saya.
Kata aku digunakan dalam percakapan antara teman sebaya yang status sosialnya sejajar, sedang kata saya digunakan dalam percakapan dengan orang yang lebih tua usianya atau lebih tinggi kedudukan sosialnya.
4)   Nuansa Makna
Contoh: kata mengambil bersinonim dengan merampas.
Keta mengambil mempunyai nuansa makna yang lebih halus daripada merampas. Kata merampas hanya cocok untuk kegiatan mengambil sesuatu dengan cara paksa.
b.   Antonim
Kata antonim yang lazim disebut lawan kata berasal dari bahasa Yunani Kuno onoma yang berarti ‘nama’ dan anti yang berarti ‘melawan’. Secara harfiah berarti ‘nama lain untuk benda lain’. Menurut Verhaar, antonim adalah ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat juga berupa frase atau kalimat) yang dianggap bermakna kebalikan dari ungkapan lain. Antonim juga disebut dengan istilah oposisi makna. Ada beberapa jenis oposisi makna, yaitu: oposisi mutlak, oposisi kutub, oposisi hubungan, opsisi hierarki, dan oposisi majemuk.
1)   Oposisi mutlak
Kata-kata yang beroposisi mutlak adalah kata-kata yang memiliki pertentangan secara mutlak.
Contoh: laki-laki dengan perempuan
Hidup dengan mati
Laki-laki pasti bukan perempuan, dan perempuan pasti bukan laki-laki.
Bila hidup pasti tidak mati, dan bila mati pasti tidak hidup.
2)   Oposisi kutub
Kata-kata yang beroposisi kutub adalah kata-kata yang pertentangannya tidak mutlak.
Contoh: pandai dengan bodoh.
Tinggi dengan rendah.
Pertentangan tersebut tidak mutlak karena di antara pandai dan bodoh ada agak pandai, agak bodoh, sangat pandai dan sangat bodoh. Di antara tinggi dan rendah ada agak tinggi, agak rendah, sangat tinggi, sangat rendah.
3)   Oposisi hubungan
Kata-kata yang beroposisi hubungan adalah kata-kata yang pertentangannya saling berhubungan. Maksudnya, kehadiran satu kata mengakibatkan munculnya kata lain yang mempunyai hubungan.
Contoh: dosen dengan mahasiswa.
Penjual dengan pembeli.
Kata dosen muncul karena ada kata mahasiswa, begitu sebaliknya, kata mahasiswa muncul karena ada kata dosen. Kata penjual muncul karena ada kata pembeli, begitu juga kata pembeli muncul karena ada kata penjual.
4)   Oposisi hierarki
Kata-kata yang beroposisi hierarki adalah kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (berat, panjang, isi), nama satuan hitungan, penanggalan, nama jenjang kepangkatan, dan sebagainya.
Contoh: gram dengan kuintal.
Sersan dengan jenderal.
5)   Oposisi majemuk
Kata-kata yang beroposisi majemuk adalah kata-kata yang tidak hanya beroposisi dengan satu kata, tetapi dengan dua buah kata atau lebih.
Contoh: jelek dengan baik, bagus, cantik, manis.
2.   Homonim, Homofon, Homograf, dan Polisemi
Kata homonim berasal dari bahsa Yunani Kuno onoma yang berarti ‘kata’ dan homos yang berarti ‘sama’. Secara harfiah homonim berarti, kata yang sama lafal dan ejaannya, tetapi berbeda maknanya.
Contoh:
Hak asasi manusia
Hak sepatu wanita

Bisa ular belang sangat berbahaya
Dia pasti bisa melakukannya
Homofon adalah kata yang sama lafalnya, tetapi berbeda ejaan dan maknanya.
Contoh:
Masa dan massa
Sanksi dan sangsi
Homograf adalah kata yang sama ejaanya, tetapi lafal dan maknanya berbeda.
Contoh:
Mobil sedan Pak Bupati berwarna merah
Anak laki-laki kecil itu menangis sedu-sedau.
Polisemi adalah satuan bahasa (terutama kata atau frase) yang memiliki makna lebih dari satu.
Contoh:
(1)   Mangga arumanis yang bergelantungan itu sudah matang.
(2)   Adiknya berusia 25 tahun, sudah matang untuk meningkah.
Kata matang pada kalimat (1) bermakna sudah tua dan sudah waktunya untuk dipetik. Pada kalimat (2), kata matang mempunyai arti sudah dewasa. Dengan demikian kata matang memiliki makna lebih dari satu, dan makna tersebut masih berdekatan.
Menurut Pateda, terjadinya polisemi karena beberapa faktor
1)   Faktor gramatikal
Contoh: dengar
Kata dengar yang dapat berubah makna menjadi alat untuk mendengarkan jika bergabung dengan imbuhan pe-an, dan dapat pula bermakna orang yang mendengarkan jika bergabung dengan awalan pe-.
2)   Faktor leksikal, dapat bersumber dari:
a)   Sebuah kata mengalami perubahan pemakaian dalam bahasa yang mengakibatkan munculnya makna baru.
Contoh: mogok
Kata mogok yang artinya tidak dapat berjalan atau (bekerja) sebagaimana biasanya (tentang kendaraan), namun sekarang berkembang menjadi mogok kerja, mogok makan, mogok belajar.
b)   Digunakan pada lingkungan yang berbeda
Contoh: operasi
Kata operasi di dunia kedokteran bermakna melakukan pengobatan penyakit dengan membedah bagian tubuh, sedangkan di lingkungan pelaku kejahatan, bermakna sedang melakukan kejahatan (mencopet, menodong).
c)   Karena metafora
Contoh: kaki
Kata kaki bermakna anggota badan yang menopong tubuh dan dipakai untuk bejalan. Kata tersebut digunakan sebagai metafora menjadi kaki bukit, kaki rumah.
3)   Faktor pengaruh bahasa asing
Contoh: item
Kata item sudah sering digunakan sebagai pengganti kata butir.
4)   Faktor pemakai bahasa yang ingin menghemat penggunaan kata
5)   Faktor bahasa itu sendiri yang terbuka untuk menerima perubahan, baik perubahan bentuk maupun perubahan makna

3.   Hiponim
Kata hiponim berasal dari bahsa Yunani Kuno onoma yang berarti ‘nama’ dan hypo yang berarti ‘di bawah’. Dalam kamus linguistik hiponim berarti hubungan antara makna spesifik dan makna generik atau antara anggota taksonomi, misalnya anjing, kucing dan kambing merupakan hiponim dari hewan. Secara semantis hiponim dapat didefinisikan sebagai ungkapan (kata, frase, atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna ungkapan lain.
Kata mangga, rambutan, durian, dan jambu merupakan hiponim dari buah. Bila nama-nama itu disebut, kita sudah tahu, bahwa nama-nama tersebut adalah nama buah-buahan. Kata buah  merupakan superordinat dari mangga, rambutan, durian, dan jambu.  Sebuah hiponim dapat menjadi superordinat dari hiponim di bawahnya. Misalnya:

 












Kata biru merupakan hiponim dari warna, tetapi biru jug dapat merupakan superordinat dari biru tua, biru muda, dan biru benhur. Dengan demikian sebuah kata akan merupakan hiponim atau superordinat bergantung pada tingkatan hubungan kata tersebut, bersifat lebih umum atau lebih khusus. Apabila kata tersebut sifatnya lebih umum, kata tersebut termasuk superordinat, tetapi apabila bersifat lebih khusus termasuk hiponim.
Hiponim mempunyai hubungan transitif, maksudnya, bila A hiponim dari B, dan B hiponim dari C maka A merupakan hiponim dari C. misalnya bila biru  muda merupakan hiponim dari biru maka biru muda juga hiponim dari warna.
Kata merah, jingga, dan abu-abu merupakan hiponim dari warna sehingga untuk menyebut kata-kata tersebut tidak perlu menggunakan kata warna, misalnya warna merah, warna jingga, dan warna abu-abu, tetapi cukup merah, jingga, dan abu-abu.








BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ragam makna atau jenis makna sangat banyak dan tidak memberi batasan yang sama karena dasar pembagiaanya menggunakan kacamata yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan istilah tipe makna dan membaginya manjadi tujuh tipe, yaitu makna konseptual, konotatif, stilistik, afektif, refleksi, kolokatif, dan tematik. Leech (2003). Sedangkan makna berdasarkan dikotomi dibagi menjadi empat ragam makna, yaitu makna leksikal dan makna gramatikal, makna denotatif dan makna konotatif, makna konseptual dan makna asosiatif, dan makna kata umum dan makna kata khusus (Chaer dan Muliastuti, 2003).
Dalam semantik kita kenal adanya relasi makna atau hubungan yaitu hubungan kemaknaan antara sebuah kata, frase, klausa atau kalimat dengan kata, frase, klausa, kalimat lainnya. Dan hubungan tersebut terbentuk sinonim, antonim, homonim, homofon, homograf, polisemi, dan hiponim.
B.     Saran dan Kritik
Dari kesimpulan di atas, kami menyarankan bahwa ragam makna atau jenis makna sangat banyak dan tidak memberikan batasan yang sama. Sehingga kami menyarankan agar lebih cermat dalam mempelajari ragam makna atau jenis makna maupun dalam relasinya supaya tidak menimbulakan kesalah pahaman antara satu dengan yang lain.
Dari makalah ini yang kami buat sangat mengharapkan masukan atau kritikan dari Anda agar dalam pembuatan makalah yang lain menjadi lebih baik dan sempurna sesuai dengan apa yang kami harapkan.




Daftar Pustaka

Rosdiana Yusi, dkk. 2009. Bahasa dan Sastra Indonesia di SD. Jakarta: Universitas Terbuka.




Catatan