Muhamad Ja'far Sidiq
Senin, 24 Maret 2014
Jumat, 07 Maret 2014
Semantik Bahasa
LAPORAN TUGAS KELOMPOK
SEMANTIK BAHASA
INDONESIA pada RAGAM dan RELASI MAKNA
DISUSUN GUNA
MEMENUHI TUGAS PERKULIAHAN
MATA KULIAH KOPETENSI
DASAR BAHASA dan SASTRA INDONESIA II
DOSEN PENGAMPU:
Kiswo, S.Pd, M.Pd
DISUSUN OLEH:
1.
M. Ja’far Sidiq NIM: 40212098
2.
Subur Widadi NIM: 40212117
3.
Deni Irawan NIM: 40212125
KELAS/SEMESTER
: PGSD 3 / 4
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
SEKOLAH TINGGI
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
STKIP ISLAM
BUMIAYU
2014
Kata Pengantar
Puji
dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“Semantik Bahasa Indonesia pada Ragam dan Relasi Makna” ini dengan lancar.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memnuhi salah satu tugas yang diberikan
oleh dosen pengampu mata kuliah Konsep Dasar Bahasa dan Sastra Indonesia II.
Kami
harap, dengan membaca makalah ini daapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam
hal ini dapat menambah wawasan kita. Memang makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka penulis mengharap kritik dan saran dari pembaca demi
perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Bumiayu, Maret 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kata semantik
berasal dari bahasa Yunani sema yang
berarti tanda atau lambang, yang merupakan bagian dari tiga tataran bahasa yang
meliputi fonologi, tata bahasa (morfologi-sntaksis) dan semantik. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia semantik yang berarti, ilmu tentang makna kata dan
kalimat yang meliputi pengetahuan mengenai seluk-beluk dan pergeseran arti kata
dan bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan atau struktur
makna suatu wicara.
Pada makalah ini yang akan dibahas adalah Ragam
Makna dan Relasi Makna dalam Semantik Bahasa Indonesia. Lalu apa yang dimaksud
dengan makna? Apakah makna sama dengan arti? Apabila ada orang bertanya kepada
Anda “Apa makna kata jenaka?” Anda akan menjawab, ”Jenaka adalah lucu.” Anda
cukup menjawabnya dengan satu kata. Orang yang bertanya merasa puas karena
pertanyaan sudah terjawab, dan Anda juga merasa puas karena dapat menjawab
pertanyaan dengan benar. Kemudian Anda mendapat pertanyaan lain yang tidak
dapat Anda jawab dengan satu kata, tetapi Anda harus menjawab dengan sebuah
definisi. Misalnya, apa makna kata imun? “Imun adalah kebal terhadap suatu
penyakit”. Anda kembali merasa puas karena telah dapat menjawab pertanyaan
dengan benar, sesuai dengan yang ada dalam kamus. Apakah orang yang bertanya
tersebut juga merasa puas dengan jawaban Anda? Belum tentu! Ternyata, bisa saja
penanya belum cukup puas dengan jawaban yang diterimanya karena dia tidak tahu
makna kata ‘kebal’.
Uraian di atas menyuratkan bahwa ternyata untuk
menjelaskan makna kata tidak cukup dengan menggunakan kata lain, bahkan dengan
batasan/definisi pun persoalannya tidak dapat selesai begitu saja. Sebuah benda
dapat memiliki bermacam-macam nama dalam satu bahasa yang berbeda. Kita tidak
dapat semaunya mengganti makna suatu kata. Orang tidak mungkin mengganti urutan
bunyi bagi konsep-konsep yang ada tanpa persetujuan dari anggota masyarakat
pemakai bahasa. Oleh sebab itu betapa pentingnya mempelajari segala Ragam Makna
dan Relasi Makna dalam semantik Bahasa Indonesia agar menambah khasanak ilmu
lingustik/bahasa yang kita pelajari.
B.
Rumusan Masalah
1. Menjelaskan konsep makna;
2. Mengidentifikasi relasi makna; dan
3. Menggunakan kata yang tepat dalam berbahasa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. RAGAM MAKNA
Ada banyak
ragam/jenis makna yang dikemukakan oleh para ahli lingustik ke semua pendapat
itu tidak memberikan batasan yang sama karena dasar pembagiaannya menggunakan
kacamata yang berbeda-beda. Misalnya,Leech (2003), menggunakan istilah tipe
makna, membagi makna menjadi tujuh tipe, yaitu makna konseptual, konotatif,
stilistik, fektif, refleksi, kolokatif, dan tematik. Djajasudarma (1999)
mengutip dari beberapa ahli, antara lain Blomfield, Palmer, Verhaar,
Kridalaksana, dan Ullman menjadi makan menjadi 12 jenis, yaitu makna sempit,
luas, kognitif, konotatif, dan emotif, referensial, konstruktif, leksikal dan
gramatikal, idesional, proposisi, pusat, piktorial, dan idiomatik.
Dalam artikel
yang saya buat ini hanya menguraikan empat ragam makna berdasarkan dikotomi
makna, yaitu makna leksikal dan makna gramatikal, makna denotatif dan makna
konotatif, makna konseptual dan makna asosiatif, dan makna kata umum dan makna
kata khusus (Chaer dan Muliastuti, 2003).
1.
Makna Leksikal
dan Makna Gramatikal
Apa yang
dimaksud makna laksikal? Untuk menjawab coba anda simak beberapa contoh berikut
:
a.
Nana
makan biscuit Rika.
b.Bupati yang lama
makan uang rakyat hingga ratusan juta
rupiah.
c.
Ayah
menyuruh adik membeli amplop.
d.
Pejabat
baru itu sudah mulai menerima amplop
dari para pengusaha.
e.
Mobil
butut itu sudah sudah sepuluh kali mogok.
f.
Para
buruh berdemo dengan cara mogok makan.
g.Bunga mawar itu sudah layu.
h.Rima gadis
cantik itu menjadi bunga kampus.
Dari delapan
contoh itu kata-kata yang dicetak miring pada kalimat (a) dan (b), (c) dan (d),
(e) dan (f), (g) dan (h), mempunyai makna yang saling berbeda. Misalnya kata
makan pada kalimat (a) diartikan sebagai memasukkan sesuatu ke dalam mulut,
menguyahnya, lalu menelannya. Kata amplop dalam kalimat (c) bermakna sampul
surat, sedangkan kata amplop pada kalimat (d) bermakna sebagai uang suap. Kata
mogok, bermakna tidak mau berjalan (bekerja) dan kata bunga pasa kalimat (g)
adalah jenis bunga, sedangkan kata bunga pada kalimat (h) bermakna mahasiswa
tercantik. Berdasarkan penjelasan contoh tersebut, maka dapat dikatakan bahwa makna laksikal adalah makna yang sesuai
dengan referennya atau sesuai dengan hasil pengamatan pancaindra kita. Makna
tersebut nyata dalam kehidupan kita sehari-hari.
Kini Anda
tentunya dapat menentukan, mana kata yang bermakna leksikal dan mana yang bukan. Jadi, kata-kata bercetak miring
pada kalimat (a),(c),(e) dan (g) bermakna leksikal.
Dalam semantic,
makna leksikal dibedakan dengan makna gramatikal. Makna gramatikal adalah makna
yang muncul karena proses gramtikal. Proses gramatikal meliputi
afiksasi/pengimbuhan, reduplikasi/pengulangan, dan komposisi/pemajemukan.
Anda dapat
menyimak contoh kaliatberikut:
i.
Adik
berlari setelah mencubit lengan
temannya.
j.
Mereka
sudah menyelesaikan laporan
penelitian.
k.
Asinan Bogor banyak
disukai orang.
l.
Rumah
di desa halamannya luas-luas.
m.
Deni
akan minta surat keterangan dari Ketua RT.
n.
Mata
kita silau apabila menatap langsung maatahari.
Setelah Anda
sudah menyimak dengan baik, kata yang bercetak miring pada kalimat (i), (j) dan
(k) merupakan contoh kata yang mengalami proses afikasi/pengimbuhan. Kalimat
(l) terdapat kata luas-luas,
merupakan proses reduplikasi/pengulangan, dan kalimat surat keterangan dalam kalimat (m) mengalami proses
komposisi/pemajemukan. Kemudian, bagaimana dengan kalimat (n)? pada kalimat (n)
sudah jelas bukan makna kata leksikal dan makna gramatikal.
2.
Makna Denotatif
dan Makna Konotatif
sebuah kata
mempunyai makna denitatif apabila kata tersebut memiliki nilai rasa positif
atau menyenangkan. Sebaliknya, sebuah kata akan mempunyai makna konotatif
apabila mempunyai nilai rasa negatif atau tidak menyenangkan. Dengan demikian
jelas bukan bahwa nilai rasa tersebut kata dapat membedakan makna.
Untuk lebih
jelasnya, dapat Anda perhatikan contoh berikut ini :
o.
Gadis
cantik itu berbadan lanagsing.
p.
Siswa
yang berkelompok itu sedang
mendiskusikan presiden baru.
q.
Badanya
kerempeng seperti kekurangan gizi.
r.
Germbolan mahasiswa itu
memadati jalan utama.
Kalimat yang
bermakna denotatif terdapat dalam kalimat (o) dan (p), sedangkan yang bermakna
konotatif terdapat dalam kalimat (q) dan (r). kata langsing dan berkelompok
mempunyai nilai rasa positif, sedangkan kata kerempeng dan gerombolan
mempunyai rasa negatif.
3.
Makna konseptual
dan Makna Asosiatif
Makna konseptual
adalah makna kata yang sesuai dengan referennya atau makna yang bebas dari
asosiasi apapun. Makna konseptual sebenarnya sama dengan makna denotatif dan
makna leksikal. Sedangkan makna asosiasi adalah makna sebuah kata yang ada
hubungannya dengan kata tersebut dengan keadaan di luar jebiasaan. Makna
asosiasi sebenarnya sama dengan lambang-lambang yang digunakan oleh masyarakat
tertentu. Perbedaan makna konseptual dengan makna asosiatif didasarkan pada ada
atau tidaknya hubungan asosiasi makna sebuah kata dengan makna kata lain.
Misalnya, kata wanita atau perempuan oleh masyarakat dilambangkan sebagai makhluk yang lemah,
kata merah sebagai lambang keberanian, putih sebagai lambang kesucian. Dengan
kata lain, makna asosiasi mempunyai hubungan dengan nilai-nilai moral maupun
pandangan hidup masyarakat tertentu. Selain itu, makna asosiatif ini juga
berhubungan dengan nilai rasa. Dengan demikian, makna asosiatif juga termasuk
makna konotatif.
4.
Makna Kata umum
dan Makna Kata Khusus
Makna kata umum
adalah makna suatu kata yang berdifat umum, maksudnya makna tersebut digunakan
secara umum. Makna kata bersifat umum baru jelas bila berada dalam konteksnya.
Sedangkan makna kata khusus atau istilah adalah makna kata yang sifatnya
khusus, maksudnya, hanya digunakan di kalangan ilmu tertentu. Makna khusus
biasa disebut dengan istilah. Apabila kata umum lepas dari konteksnya, maka
kata tersebut akan kabur. Sedangkan makna kata khusus sudah memiliki makna yang
pasti dan tetap sehingga tanpa konteks pun kata khusus tetap jelas maknanya.
Misalnya, kata kuping dalam pemakaian
bahasa secara umum berarti indra pendengaran, yang meliputi bagian luar (daun
telinga) dan bagian dalam. Dalam bahasa umum kata telinga berpadanan kata
dengan kuping. Dalam istilah kedokteran, kata kuping dan telinga merupakan dua
istilah yang jelas berbeda. Kuping berarti
‘daun telinga’ atau bagian luar telinga, sedangkan telinga berarti ‘bagian dalam telinga’. Dalam spesialisasi
kedoteran kita kenal dengan adanya spesialis THT (telinga – hidung –
tenggorokan). Sebagai ilustrasi, bila daun telinga Anda terluka dan perlu
pengobatan, Anda cukup pergi kedokter umum, tetapi apabilayang terluka telinga
bagian dalam, Anda harus pergi ke dokter spesialis THT.
Walaupun istilah
atau kata khusus hanya digunakan dalam bidang ilmu tertentu, namun karena
frekuensi pemekaiannya cukup tinggi, istilah tersebut dapat berubah menjadi
kata umum. Misalnya, kata konsumen, deposito, transfer, imunisasi, akomodasi,
dan lain-lain.
B. RELASI MAKNA
Relasi makna
atau hubungan makna adalah hubungan kemaknaan antara sebuah kata, frase, klausa
atau kalimat dengan kata, frase, klausa atau kalimat lainnya. Hubungan tersebut
berbentuk sinonim, antonym, homonym, homofon, homograf, polisemi, dan hiponim.
1.
Sinonim dan
Antonim
a.
Sinonim
Kata sinonim berasal dari bahasaYunani Kuno onomo yang berarti ‘nama’ dan syn yang berarti ‘dengan’. Sinonim dapat
berarti memiliki makna yang sama atau hampir sama yang sering, tetapi tidak
selalu dapat saling menggantikan dalam kalimat (Yudi Cahyono, 1995:208).
Sinonim juga lazim disebut dengan istilah padanan kata. Menurut Verhaar dalam
Muliastuti (203: 2.2) senonim merupakan ungkapan (dapat berupa kata, frase atau
kaliat) yang maknannya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lalin.
Pengertian kesamaan makna tersebut tidak harus sama secara utuh. Sebuah kata
yang digunakan dalam kalimat tertentu belum tentu cocok digunakan dalam kalimat
lain. Misalnya, kata mati dan tewas.
1)
Ayam
piraannya mati semua.
2)
Keluarganya
tewas dalam musibah tanah longsor.
Kata mati dalam kalimat (1) tidak cocok
digunakan dalam kalimat (2), begitu sebaliknya kata tewas tidak cocok digunakan dalam dalimat (1). Kata mati digunakan untuk mengacu pada makhluk yang
sudah tidak bernyawa, seperti: manusia, binatang, dan tanaman. Sedangkan kata
tewas digunakan untuk mengacu pada makna ‘tak bernyawa’ yang terjadi dalam
peperangan, bencana, dan kecelakaan. Contoh lain adalah kata berkaca dan bercermin dalam kalimat:
3)
Mobil
barunya berkaca gelap.
4)
Wina
sedang bercermin di kamarnya.
Kata berkaca dalam kalimat (3) dapat dan
cocok digunakan dalam kalimat (4), tetapi kata bercermin tidak cocok
digunakan dalam kalimat (3).
Ketidakcocokan
penggunaaan kata dalam kalimat yang lain sesuai dengan prinsip dalam semantik
yang bunyinya bahwa apabila bentuk berbeda maka maknanya pun akan berbeda.
Selain karena perbedaan bentuk, ada beberapa faktor yang menyebabkan kata-kata
yang bersinonim tidak selalu dapat menggantikan, yaitu:
1) Perbedaan waktu
Contoh: kata hulubalang bersinonim dengan komandan.
Kata hulubalang
hanya cocok digunakan dalam situasi masa lampau, sedangkan kata komandan cocok
digunakan dalam situasi saat ini.
2) Perbedaan daerah
atau tempat
Contoh: kata lu bersinonim dengan kata kamu.
Kata lu
hanya digunakan di daerah Betawi /Jakarta, sedangkan kata kamu dapat digunakan secara
umum.
3) Sosial
Contoh: kata aku bersinonim dengan kata saya.
Kata aku
digunakan dalam percakapan antara teman sebaya yang status sosialnya
sejajar, sedang kata saya digunakan
dalam percakapan dengan orang yang lebih tua usianya atau lebih tinggi
kedudukan sosialnya.
4) Nuansa Makna
Contoh: kata mengambil bersinonim dengan merampas.
Keta mengambil
mempunyai nuansa makna yang lebih halus daripada merampas. Kata merampas hanya cocok untuk kegiatan
mengambil sesuatu dengan cara paksa.
b.
Antonim
Kata antonim yang lazim disebut lawan kata
berasal dari bahasa Yunani Kuno onoma
yang berarti ‘nama’ dan anti yang
berarti ‘melawan’. Secara harfiah berarti ‘nama lain untuk benda lain’. Menurut
Verhaar, antonim adalah ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat juga
berupa frase atau kalimat) yang dianggap bermakna kebalikan dari ungkapan lain.
Antonim juga disebut dengan istilah oposisi makna. Ada beberapa jenis oposisi
makna, yaitu: oposisi mutlak, oposisi kutub, oposisi hubungan, opsisi hierarki,
dan oposisi majemuk.
1)
Oposisi
mutlak
Kata-kata yang beroposisi mutlak adalah
kata-kata yang memiliki pertentangan secara mutlak.
Contoh: laki-laki dengan perempuan
Hidup dengan mati
Laki-laki pasti bukan perempuan, dan
perempuan pasti bukan laki-laki.
Bila hidup pasti tidak mati, dan bila
mati pasti tidak hidup.
2)
Oposisi
kutub
Kata-kata yang beroposisi kutub adalah
kata-kata yang pertentangannya tidak mutlak.
Contoh: pandai dengan bodoh.
Tinggi dengan rendah.
Pertentangan tersebut tidak mutlak
karena di antara pandai dan bodoh ada agak pandai, agak bodoh, sangat pandai
dan sangat bodoh. Di antara tinggi dan rendah ada agak tinggi, agak rendah,
sangat tinggi, sangat rendah.
3)
Oposisi
hubungan
Kata-kata yang beroposisi hubungan
adalah kata-kata yang pertentangannya saling berhubungan. Maksudnya, kehadiran
satu kata mengakibatkan munculnya kata lain yang mempunyai hubungan.
Contoh: dosen dengan mahasiswa.
Penjual dengan pembeli.
Kata dosen
muncul karena ada kata mahasiswa,
begitu sebaliknya, kata mahasiswa
muncul karena ada kata dosen. Kata penjual muncul karena ada kata pembeli, begitu juga kata pembeli muncul karena ada kata penjual.
4)
Oposisi
hierarki
Kata-kata yang beroposisi hierarki
adalah kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (berat, panjang, isi), nama
satuan hitungan, penanggalan, nama jenjang kepangkatan, dan sebagainya.
Contoh: gram dengan kuintal.
Sersan dengan jenderal.
5)
Oposisi
majemuk
Kata-kata yang beroposisi majemuk adalah
kata-kata yang tidak hanya beroposisi dengan satu kata, tetapi dengan dua buah
kata atau lebih.
Contoh: jelek dengan baik, bagus,
cantik, manis.
2.
Homonim,
Homofon, Homograf, dan Polisemi
Kata homonim berasal dari bahsa Yunani Kuno onoma yang berarti ‘kata’ dan homos yang berarti ‘sama’. Secara
harfiah homonim berarti, kata yang
sama lafal dan ejaannya, tetapi berbeda maknanya.
Contoh:
Hak asasi manusia
Hak sepatu wanita
Bisa ular belang sangat berbahaya
Dia pasti bisa melakukannya
Homofon adalah
kata yang sama lafalnya, tetapi berbeda ejaan dan maknanya.
Contoh:
Masa dan massa
Sanksi dan sangsi
Homograf adalah
kata yang sama ejaanya, tetapi lafal dan maknanya berbeda.
Contoh:
Mobil sedan Pak Bupati berwarna merah
Anak laki-laki kecil itu menangis
sedu-sedau.
Polisemi adalah satuan
bahasa (terutama kata atau frase) yang memiliki makna lebih dari satu.
Contoh:
(1)
Mangga
arumanis yang bergelantungan itu sudah matang.
(2)
Adiknya
berusia 25 tahun, sudah matang untuk meningkah.
Kata
matang pada kalimat (1) bermakna sudah tua dan sudah waktunya untuk dipetik.
Pada kalimat (2), kata matang mempunyai arti sudah dewasa. Dengan demikian kata
matang memiliki makna lebih dari satu, dan makna tersebut masih berdekatan.
Menurut
Pateda, terjadinya polisemi karena beberapa faktor
1)
Faktor
gramatikal
Contoh: dengar
Kata dengar
yang dapat berubah makna menjadi alat untuk mendengarkan jika bergabung dengan
imbuhan pe-an, dan dapat pula bermakna orang yang mendengarkan jika bergabung
dengan awalan pe-.
2)
Faktor
leksikal, dapat bersumber dari:
a)
Sebuah
kata mengalami perubahan pemakaian dalam bahasa yang mengakibatkan munculnya
makna baru.
Contoh: mogok
Kata mogok
yang artinya tidak dapat berjalan atau (bekerja) sebagaimana biasanya
(tentang kendaraan), namun sekarang berkembang menjadi mogok kerja, mogok makan, mogok belajar.
b)
Digunakan
pada lingkungan yang berbeda
Contoh: operasi
Kata operasi
di dunia kedokteran bermakna melakukan pengobatan penyakit dengan membedah
bagian tubuh, sedangkan di lingkungan pelaku kejahatan, bermakna sedang
melakukan kejahatan (mencopet, menodong).
c)
Karena
metafora
Contoh: kaki
Kata kaki
bermakna anggota badan yang menopong tubuh dan dipakai untuk bejalan. Kata
tersebut digunakan sebagai metafora menjadi kaki
bukit, kaki rumah.
3)
Faktor
pengaruh bahasa asing
Contoh: item
Kata item
sudah sering digunakan sebagai pengganti kata butir.
4)
Faktor
pemakai bahasa yang ingin menghemat penggunaan kata
5)
Faktor
bahasa itu sendiri yang terbuka untuk menerima perubahan, baik perubahan bentuk
maupun perubahan makna
3.
Hiponim
Kata hiponim berasal dari bahsa Yunani Kuno onoma yang berarti ‘nama’ dan hypo yang berarti ‘di bawah’. Dalam
kamus linguistik hiponim berarti hubungan antara makna spesifik dan makna
generik atau antara anggota taksonomi, misalnya anjing, kucing dan kambing
merupakan hiponim dari hewan. Secara semantis hiponim dapat didefinisikan
sebagai ungkapan (kata, frase, atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan
bagian dari makna ungkapan lain.
Kata mangga, rambutan, durian, dan jambu merupakan hiponim dari buah. Bila
nama-nama itu disebut, kita sudah tahu, bahwa nama-nama tersebut adalah nama
buah-buahan. Kata buah merupakan superordinat dari mangga, rambutan, durian, dan jambu. Sebuah hiponim dapat menjadi superordinat dari
hiponim di bawahnya. Misalnya:
Kata biru merupakan hiponim dari warna,
tetapi biru jug dapat merupakan superordinat dari biru tua, biru muda, dan biru
benhur. Dengan demikian sebuah kata akan merupakan hiponim atau superordinat
bergantung pada tingkatan hubungan kata tersebut, bersifat lebih umum atau
lebih khusus. Apabila kata tersebut sifatnya lebih umum, kata tersebut termasuk
superordinat, tetapi apabila bersifat lebih khusus termasuk hiponim.
Hiponim
mempunyai hubungan transitif, maksudnya, bila A hiponim dari B, dan B hiponim
dari C maka A merupakan hiponim dari C. misalnya bila biru muda merupakan hiponim
dari biru maka biru muda juga hiponim dari warna.
Kata merah,
jingga, dan abu-abu merupakan hiponim dari warna sehingga untuk menyebut
kata-kata tersebut tidak perlu menggunakan kata warna, misalnya warna merah,
warna jingga, dan warna abu-abu, tetapi cukup merah, jingga, dan abu-abu.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ragam makna atau jenis makna sangat banyak dan tidak
memberi batasan yang sama karena dasar pembagiaanya menggunakan kacamata yang
berbeda-beda. Ada yang menggunakan istilah tipe makna dan membaginya manjadi
tujuh tipe, yaitu makna konseptual, konotatif, stilistik, afektif, refleksi,
kolokatif, dan tematik. Leech
(2003). Sedangkan makna berdasarkan dikotomi
dibagi menjadi empat ragam makna, yaitu makna leksikal dan makna gramatikal,
makna denotatif dan makna konotatif, makna konseptual dan makna asosiatif, dan
makna kata umum dan makna kata khusus (Chaer dan Muliastuti, 2003).
Dalam semantik kita kenal adanya relasi makna atau
hubungan yaitu hubungan kemaknaan antara sebuah kata, frase, klausa atau
kalimat dengan kata, frase, klausa, kalimat lainnya. Dan hubungan tersebut
terbentuk sinonim, antonim, homonim, homofon, homograf, polisemi, dan hiponim.
B.
Saran dan Kritik
Dari
kesimpulan di atas, kami menyarankan bahwa ragam makna atau jenis makna sangat
banyak dan tidak memberikan batasan yang sama. Sehingga kami menyarankan agar
lebih cermat dalam mempelajari ragam makna atau jenis makna maupun dalam
relasinya supaya tidak menimbulakan kesalah pahaman antara satu dengan yang
lain.
Dari
makalah ini yang kami buat sangat mengharapkan masukan atau kritikan dari Anda
agar dalam pembuatan makalah yang lain menjadi lebih baik dan sempurna sesuai
dengan apa yang kami harapkan.
Daftar
Pustaka
Rosdiana Yusi, dkk. 2009. Bahasa dan Sastra Indonesia di SD.
Jakarta: Universitas Terbuka.
Catatan
Langganan:
Postingan (Atom)